Muhd. Nur Sangadji*

SUDAH DUA PULUH TAHUN lamanya saya digoda, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Mulai dari Wali Kota Palu, Wali Kota Ternate, hingga Gubernur Maluku Utara.

Tentu, pernyataan ini terkesan narsis. Namun, begitulah adanya. Pada tahun 2002, saya ditunjuk sebagai Fasilitator Program Pembangunan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) di Kota Palu. Fokus kegiatan kala itu adalah mendorong semangat Good Governance di sepuluh kota di Indonesia.

Beragam kegiatan publik berhasil diselenggarakan. Pertemuan warga bermunculan di mana-mana, media massa seperti koran, radio, dan televisi meliputnya tanpa biaya sepeser pun. Sebutan “Wali Kota Swasta” pun mulai melekat pada diri saya.

Pada tahun 2004, saya kembali terpilih sebagai pakar untuk program UNDP, di Provinsi Maluku Utara dengan tema Government Capacity Building. Kegiatan ini pun membawa efek publik yang signifikan. Tiba-tiba saja, saya menjadi pusat perhatian di tanah kelahiran.

Saya berbicara dalam berbagai forum mahasiswa, berceramah di masjid, menulis artikel di koran, dan berbicara di radio. Singkatnya, nama saya pun mulai ramai dibicarakan.

Ibu saya pernah berkisah, pada sebuah pengajian ibu-ibu di Ternate tahun 2004, ia mendengar bisik-bisik tentang “calon wali kota orang Tidore yang tinggal di Palu”. Ternyata yang dimaksud adalah saya. Saat mendengar cerita itu, saya hanya ,tertawa karena memang tak pernah ada niat sedikit pun untuk terjun ke dunia politik.

***

Popularitas itu pun merambat ke lingkaran keluarga. Kerabat dekat dan keluarga terus mendorong saya maju dalam Pilkada. Namun, hampir semua dukungan yang datang, selalu disertai dengan kabar tentang adanya bohir yang siap membantu. Tentu, dukungan semacam ini tidak pernah gratis. Lalu, apa kompensasi yang diminta? Tak perlu menjadi rahasia lagi. Bentuknya sering kali berupa barter sumber daya alam.

Mereka yang memiliki modal mendukung calon kepala daerah, karena kekuasaan membuka jalan bagi mereka untuk mengakses sumber daya alam. Hubungan simbiosis ini, jika berlangsung sehat, dapat disebut kolaborasi. Namun, sering kali terjadi penyimpangan. Balas jasa dalam bentuk konsesi, menjadi awal dari sebuah malapetaka.

Kompensasi berupa pengelolaan sumber daya alam, sering kali melanggar aturan. Dari aspek legislasi, regulasi, hingga hukum alam, semua diterabas demi kepentingan sesaat. Hasilnya? Kita menyaksikan pekerjaan berkualitas rendah, proyek penuh mark-up, dan pelanggaran aturan kontrak yang merajalela.

Akibat dari barter sumber daya alam ini, bukan sekadar kerusakan fisik, tetapi juga bencana sosial. Kepercayaan publik terkikis, dan masyarakat kehilangan keyakinan pada sistem.

***

Apa solusi dari masalah ini? Sebenarnya, rambu-rambu sudah ada. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dirancang untuk mengendalikan dari sisi keruangan.

Studi Kelayakan (Feasibility Study), menimbang untung rugi dan batasan pelaksanaan proyek. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL), serta Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), memastikan bahwa dampak terhadap lingkungan bisa dikelola.

Yang paling penting, adalah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dokumen yang memandu rencana pembangunan dengan analisis ketat. KLHS memberikan bobot penilaian terhadap dampak lingkungan, keanekaragaman hayati, daya dukung dan daya tampung wilayah, serta perubahan iklim.

Semua kandidat pemimpin daerah, sejatinya berkiblat pada dokumen ini dalam merumuskan visi dan misi mereka. KPU wajib mengarahkan calon-calon pemimpin, untuk taat pada rencana pembangunan tersebut.

Jika rambu-rambu ini diikuti, kita bisa berharap, kesejahteraan masyarakat serta keselamatan dari bencana alam dan sosial dapat terjamin.

Bayangkan, Pilkada berlangsung di lebih dari 30 provinsi dan 500 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Lalu, semua calon pemimpinnya membarter sumber daya alam demi kekuasaan. Apa yang akan terjadi pada negeri ini? Hanya Tuhan yang tahu.

Wallahu a’lam bi shawab

*Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Tadulako Palu