Oleh: Salihudin
MALAM MINGGU DI BESUSU TENGAH, 7 September 2024, terasa begitu hidup. Riuh rendah tawa dan perbincangan di antara warga, berpadu dengan aroma sedap Uta Dada yang terhidang di meja. Ketupatnya hangat menggoda, seakan menjadi saksi bisu di malam yang penuh makna. Namun, sebelum lidah dimanjakan oleh kelezatan, mari kita simak lebih dulu pesan-pesan politik yang tak kalah menarik ini.
Malam itu, saya hadir mewakili Ibu Imelda Liliana Muhidin, dalam sebuah pertemuan penuh keakraban bersama warga Besusu Tengah. Berbagai kalangan hadir, mulai dari pelaku UMKM, ibu rumah tangga, hingga tokoh agama dan pemuda. Kehangatan dan rasa persaudaraan terasa kental di tengah suasana yang syahdu.
Saat membuka dialog, saya menyampaikan visi dan misi pasangan calon wali kota dan wakil wali kota, yang kami harap akan membawa perubahan berarti bagi masa depan Kota Palu. Salah satu poin penting yang saya tekankan, adalah komitmen untuk kembali menggalakkan pelatihan usaha, bagi pelaku ekonomi lokal, sebuah upaya untuk meningkatkan produksi, dan menjadikan masyarakat lebih mandiri secara ekonomi. Harapan kami sederhana: mereka tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga tumbuh berkembang.
Namun, di tengah sesi tanya jawab yang hangat, seorang pelaku usaha UMKM mengajukan pertanyaan — yang jujur saja — membekas dalam pikiran saya. “Bapak, pelatihan untuk meningkatkan produksi itu baik, tapi apa gunanya kalau produk kami tidak ada yang beli? Pemasaran kami macet!” tanyanya dengan nada tajam namun tetap penuh harap.
Pertanyaan itu menggugah saya. Benar adanya, selama ini kita sering kali terfokus pada peningkatan produksi, sementara aspek pemasaran seperti jalan di tempat. Pemerintah mungkin telah memberikan pelatihan untuk produksi, tetapi tanpa saluran pemasaran yang efektif, barang yang dihasilkan hanya akan menumpuk, terperangkap dalam gudang, atau lebih buruk lagi, tak pernah sampai ke tangan konsumen.
Di sinilah pentingnya peran pemasaran dalam siklus ekonomi. Dalam teori klasik ekonomi yang kita kenal sebagai Law of Supply—diperkenalkan oleh Jean Baptiste Say 1803 atau pada awal abad ke-19—dinyatakan, penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri. Artinya, barang yang diproduksi, akan secara otomatis menemukan pasarnya.
Namun, seperti kritik yang disampaikan John Maynard Keynes, dalam realitas yang lebih kompleks, teori ini tak selalu berlaku. Terutama di masa ketidakpastian, individu dan perusahaan sering kali menahan uang mereka, menciptakan stagnasi permintaan.
Keynes, dalam karyanya The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936), menunjukkan betapa pentingnya dorongan permintaan, untuk menggerakkan ekonomi. Tanpa pasar yang efektif, produksi sebanyak apa pun tak akan berarti. Ini mengingatkan saya pada kenyataan yang dihadapi banyak pelaku UMKM di Palu—produksi ada, tetapi pemasaran tiada.
Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya mendorong produksi, tetapi juga memastikan bahwa produk lokal ini memiliki akses ke pasar. Pemasaran, terutama dalam ekonomi modern yang penuh dengan persaingan ketat, menjadi kunci keberhasilan usaha kecil.
Tanpa strategi pemasaran yang kuat, produk yang bagus sekalipun akan tenggelam dalam lautan kompetisi, tak pernah mencapai tangan konsumen yang membutuhkan.
Beruntung, Kota Palu telah memiliki inovasi berupa Super App bernama SanguPalu. Aplikasi ini menawarkan marketplace bagi produk-produk lokal. Tantangan berikutnya, adalah bagaimana pemerintah bisa mengoptimalkan aplikasi ini, memberikan edukasi, dan memastikan seluruh pelaku usaha lokal dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Pemasaran digital, promosi di media sosial, hingga pameran dagang, bisa menjadi jalan keluar yang memadai.
Dialog malam itu berakhir dengan sebuah kesadaran baru—bahwa pemasaran adalah nadi yang menghidupkan roda ekonomi kecil. Tanpa pemasaran, usaha-usaha kecil kita akan tersendat, seolah macet di tengah jalan.
Dan ketika perbincangan berakhir, aroma Uta Dada kembali memenuhi udara. Sambalnya pedas, membakar lidah, namun begitu nikmat hingga sulit untuk berhenti. Begitu pula, usaha kecil kita membutuhkan semangat yang sama—membara tapi penuh strategi. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan