TULISAN INI, adalah bagian kedua dari tulisan sebelumnya, yang berjudul: Pergolakan Politik di Sulawesi Tengah: Kisah Peralihan Kekuasaan 1964-1981.

Mari kita lanjutkan. Pada masa Gubernur AM Tambunan, ketika Sulawesi Tengah turut diguncang kisruh politik, situasi di Tanah Air tengah dilanda gelombang besar transisi kekuasaan.

Transisi kekuasan itu dari Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, keadaan penuh dengan ketidakpastian.

Kekuasaan yang masih goyah kala itu, menimbulkan ketegangan di berbagai lapisan masyarakat, terutama para tokoh politik dan cerdik pandai di Sulawesi Tengah.

Banyak dari mereka menjadi sasaran kecurigaan. Tuduhan-tuduhan berat tanpa dasar jelas mulai bermunculan, seperti keterlibatan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga tudingan berencana mendirikan PKI Gaya Baru.

Era ini penuh dengan rasa curiga. Setiap sosok kritis yang dianggap dekat dengan Soekarno atau ideologinya, seperti Nasakom, harus diamankan.

Diamankan berarti ditangkap, dimasukkan ke penjara, bahkan tanpa surat perintah atau penjelasan yang jelas. Di bawah komando Soeharto, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), menjadi alat untuk menyingkirkan siapa pun yang dianggap sebagai ancaman.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga menyebar hingga ke Sulawesi Tengah.

Sejumlah tokoh penting di Sulawesi Tengah pun ikut menjadi korban. Nama-nama seperti Aminuddin Ponulele, Theo Tumakaka, Mohammad Thayeb Abdullah, B. Marunduh, Ir. Maloto, Husen Binol dan F. Poddung, tiba-tiba dipanggil ke Korem 132/Tadulako.

Mereka tidak diberi alasan jelas, hanya diminta hadir. Namun, setibanya di markas tantara itu, mereka langsung digiring ke suatu tempat dengan mata tertutup.

Mereka tak tahu ke mana akan dibawa, seperti para penjahat yang digiring tanpa kesempatan membela diri.

Belakangan, Theo Tumakaka mengungkap, mereka dibawa ke Markas Kodim di Jalan Hasanuddin, yang kini berada di kiri depan Restoran Foodie.

Di sana, pagi hingga malam, mereka diinterogasi tanpa henti. Tuduhan yang dilemparkan kepada mereka tidak main-main: mereka dituduh akan mendirikan PKI Gaya Baru di Sulawesi Tengah.

Namun, para tokoh ini tetap tegar dan menolak tudingan tersebut. Mereka bersikeras, bahwa mereka tidak pernah berniat mendirikan PKI, apalagi terlibat dalam kegiatan terlarang lainnya.

“Jangankan mendirikan, berniat pun tidak. Memang benar, saya adalah kader Partai Nasional Indonesia (PNI), sehingga dikait-kaitkan dengan Soekarno,” ungkap Prof. H. Aminuddin Ponulele, MS, mengenang kejadian itu.

(Wawancara dengan Prof. Aminuddin Ponulele (alm) ini, berlangsung di ruang kerjanya sebagai Gubernur Sulawesi Tengah ketika itu).

Selama ditahan, kondisi yang mereka alami jauh dari kata manusiawi. Mereka tidur di atas kasur-kasur robek dengan kapuk yang berserakan di mana-mana.

Pertemuan dengan keluarga sangat dibatasi. Bahkan, makanan yang dikirim oleh keluarga, harus melewati pemeriksaan ketat sebelum sampai ke tangan mereka. Situasi itu menambah beban mental para tahanan, yang bahkan tidak tahu apa dosa mereka hingga diperlakukan demikian.

“Saya hampir bunuh diri waktu itu. Malu sekali rasanya, karena saya tidak tahu alasan penahanan saya,” kenang Theo Tumakaka pada suatu kesempatan, menggambarkan betapa beratnya tekanan yang harus ia hadapi.

Ini adalah cerita tentang penangkapan tanpa alasan, saat hukum dan keadilan terasa absen, dan banyak tokoh daerah terhimpit dalam konstelasi politik yang tidak mereka pahami sepenuhnya. Saat transisi kekuasaan membawa ketakutan dan ketidakpastian, kehidupan banyak orang di Sulawesi Tengah pun ikut terguncang. (Bersambung)*

Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud membuka luka lama atau menyinggung isu SARA, melainkan semata-mata sebagai pengingat akan sejarah penting di masa awal terbentuknya Sulawesi Tengah sebagai provinsi otonom.