PEMBEBASAN tujuh tokoh penting Sulawesi Tengah, karena tuduhan PKI Gaya Baru. Artikel ini menjadi lanjutan dari kisah sebelumnya yang berjudul Penangkapan Prof Aminuddin Ponulele Cs: Kisah Kelam di Tengah Transisi Politik.

Di balik dinding-dinding penjara, tujuh tokoh penting terperangkap dalam sunyi, menanggung tuduhan berat yang menghantui. Mereka dituduh terlibat dalam gerakan PKI Gaya Baru.

Tuduhan ini bagai petir di siang bolong, menggelegar di tengah suasana politik yang sudah mencekam. Namun, pada akhirnya, keadilan menemukan jalannya, meski terlambat dan tak seutuhnya tanpa luka.

Tanggal 2 Desember 1977, menjadi saksi kebebasan mereka. Dalam sepucuk surat bernomor SKEP/8/711/1977, yang ditandatangani oleh Kolonel Soeranto selaku Danrem 132/Tadulako, keputusan itu ditetapkan.

Tak ada seremonial gemilang, hanya coretan di atas kertas yang mengembalikan kebebasan mereka. Surat yang menjelaskan bahwa mereka tidak bersalah. Tak ada pengadilan yang mereka lalui, hanya berbulan-bulan dalam penantian sunyi di balik jeruji.

Surat pembebasan ini, yang berdasarkan Instruksi Pangkopkamtib dan Laksusda Sulutteng, mengharuskan mereka bersumpah dan menandatangani pernyataan resmi, sebelum mereka benar-benar bisa menghirup udara kebebasan.

Mereka adalah korban dari pusaran politik penuh intrik, yang tiba-tiba menyeret mereka dalam permainan kekuasaan dan kecurigaan.

BAYANG-BAYANG TUDUHAN YANG MEMBELENGGU

Salah satu dari mereka, Aminuddin Ponulele, masih mengingat jelas bagaimana ketidakpastian itu menghantui hari-harinya.

“Om ditahan selama berbulan-bulan di penjara, tanpa pernah diadili. Coba itu. Berimba? (Bagaimana?),” katanya, dengan mata yang menyiratkan rasa getir.

Saat itu, ia dan tokoh-tokoh lainnya dituding tanpa bukti jelas, hanya karena tuduhan terlibat dalam pembentukan PKI Gaya Baru. Tuduhan yang menempel di dinding politik Indonesia pasca 1965, yang selalu bisa muncul di tempat-tempat tak terduga, seperti hantu yang tak pernah benar-benar hilang.

Namun, pada akhirnya, nama mereka dibersihkan. Dengan surat pembebasan itu, mereka kembali ke keluarga, masyarakat, dan aktivitas mereka.

Aminuddin Ponulele kembali melanjutkan kariernya yang gemilang. Ia menjadi dosen, lalu menduduki posisi penting sebagai Rektor Universitas Tadulako, sebelum akhirnya menggapai puncak sebagai Gubernur Sulawesi Tengah.

Theo Tumakaka, yang juga termasuk di antara mereka yang dibebaskan, kembali pada psoisinya sebagai Kepala Bagian Protokol dan Perjalanan di era Gubernur AM Tambunan.

Kehidupan mereka, yang sempat hancur karena tuduhan itu, berangsur-angsur pulih. Namun, jejak rasa takut dan trauma itu tetap ada, membayangi setiap langkah.

KETAKUTAN YANG MENCEKAM

Namun, drama politik tidak berakhir dengan pembebasan mereka. Justru, dari peristiwa itu, muncul ketakutan baru yang merasuki para elit Sulawesi Tengah. Ketakutan yang berakar dalam kengerian ditangkap, dicap sebagai PKI Gaya Baru, tanpa proses hukum yang jelas.

Mereka bungkam, tak ada suara lantang yang berani memprotes kebijakan, yang dianggap tidak adil di masa pemerintahan Gubernur AM Tambunan.

Pemerintahan di era itu, meski penuh penyimpangan dan penyelewengan, tetap berarak dalam keheningan. Orang-orang hanya bisa berbisik di sudut-sudut yang aman, membicarakan soal jabatan-jabatan strategis yang diisi oleh orang-orang dekat Gubernur AM Tambunan.

Di kalangan para elit, mulai muncul istilah “tempat basah” dan “tempat kering”. Istilah itu merujuk pada jabatan-jabatan, dengan akses keuntungan atau kekuasaan yang berbeda.

Di balik keheningan itu, isu favorit yang berhembus adalah soal nepotisme dan sukuisme. Jabatan penting di pemerintahan, dipegang oleh mereka yang dekat secara personal dengan gubernur, atau berasal dari kelompok etnis tertentu.

Drs. BS Tambunan sebagai Kepala Biro Keuangan dan Ir. R.L. Tobing di Dinas Kehutanan, adalah contoh dari mereka yang mendapatkan posisi “basah”.

Namun, semua itu hanya menjadi gosip, yang tak pernah berani diungkapkan secara terbuka, kecuali di tempat-tempat yang benar-benar aman dari pengawasan.

“Iya, Om dan yang lainnya semua diam, karena takut ditangkap lagi dan dituduh sebagai pengikut PKI Gaya Baru, seperti yang terjadi sebelumnya,” jujur mendiang Theo Tumakaka di rumahnya di Jalan Sutoyo, Palu Ketika itu.

POLITIK KENGERIAN DI BAWAH BAYANG-BAYANG PKI GAYA BARU

Masa pemerintahan Gubernur AM Tambunan, ditandai dengan situasi politik yang sangat tegang. Setiap gerakan kritis terhadap kebijakan pemerintah, direspon keras dengan ancaman penangkapan.

Tuduhan PKI Gaya Baru, menjadi senjata yang mudah digunakan untuk membungkam para pengkritik. Meski begitu, di sisi lain, pemerintahan AM Tambunan juga berhasil menghindari konflik terbuka yang lebih besar.

Ketakutan yang disebar oleh bayang-bayang penangkapan, membuat semua pihak memilih untuk diam dan bertahan. Sunyi di tengah keramaian.

Drama penangkapan dan pembebasan tujuh tokoh penting, menjadi salah satu episode gelap dalam sejarah politik Sulawesi Tengah, namun juga membawa pesan, bahwa meskipun keadilan kadang tertunda, ia tetap harus ditegakkan.

Nama-nama yang dibersihkan pada akhirnya dapat melanjutkan hidup mereka, tetapi sejarah tetap mencatat kengerian yang pernah mereka alami.

Pembebasan ini menandai akhir dari tuduhan yang tak beralasan, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan dan keadilan bagi setiap individu, bahkan dalam badai politik yang paling keras sekalipun. (Bersambung)

Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud membuka luka lama atau menyinggung isu SARA, melainkan semata-mata sebagai pengingat akan sejarah penting di masa awal terbentuknya Sulawesi Tengah sebagai provinsi otonom.