Oleh: Tasrif Siara

DI BAWAH GEMERLAP CAHAYA GAWAI, masyarakat kita berada dalam pusaran baru – era digital, yang tak mungkin lagi dihindari. Hampir setiap orang kini menggenggam perangkat kecil itu, seakan-akan dunia berada dalam genggaman mereka.

Namun di balik kenyamanan dan akses tak terbatas, ada ancaman besar yang diam-diam merusak jalinan sosial dan budaya kita.

Dalam era digital, kampanye politik tak lagi mesti digelar di lapangan terbuka, di bawah terik matahari, dengan sorak-sorai pendukung. Tidak, sekarang cukup dengan satu jari di layar gawai.

Kata-kata meluncur bebas di aneka platform media sosial, seperti “mimbar demokrasi” modern, tetapi sayangnya, seringkali miskin etika. Apa saja bisa dihambur di sana – fakta, fiksi, hingga fitnah.

Ruang yang seharusnya menjadi arena perdebatan ide dan gagasan, berubah menjadi ladang pertarungan yang seringkali membingungkan.

Di sini, demokrasi seakan kehilangan arah. Ketika teknologi digital melesat cepat, mental kita sebagai pengguna, tertinggal jauh di belakang. Gawai yang seharusnya menjadi alat komunikasi, justru berubah menjadi mesin reproduksi fitnah.

“Mimbar demokrasi” dalam genggaman, telah menggerus etika sosial kita, meminggirkan nilai-nilai luhur yang pernah menjadi kebanggaan bangsa ini.

Dalam hiruk-pikuk kampanye digital, setiap orang seakan merasa bebas berbicara, seakan tak ada batas yang memisahkan antara kritik dan serangan pribadi. Ujaran kebencian dan amarah terbang bebas, terpantul dari satu layar ke layar lainnya, menyebar seperti balon-balon gas ke seluruh penjuru dunia.

Orang lupa, bahwa setiap kata yang mereka tuliskan, setiap emosi yang mereka umbar, tak akan hilang begitu saja. Rekam jejak digital adalah pengingat abadi. Namun dalam euforia kebebasan itu, batasan-batasan etika dilupakan.

Di era ini, musuh bisa berubah menjadi kawan dalam sekejap mata, karena di balik semuanya, ada kepentingan yang selalu mendikte arah permainan.

Adagium politik lama berbunyi: “Tak ada kawan atau lawan yang abadi, kecuali kepentingan.” Dalam konteks demokrasi digital, adagium itu menemukan relevansi baru. Orang yang kemarin Anda serang habis-habisan di media sosial, mungkin hari ini menjadi rekan politik yang harus Anda bela.

Tapi, ini bukan hanya soal individu. Di belakang layar, ada mesin besar yang bekerja — para buzzer. Mereka adalah pasukan bayaran, yang tak peduli pada kebenaran atau keadilan. Mereka bekerja untuk meroketkan citra sang junjungan, tak peduli jika harus menyebar fitnah atau menyikut lawan-lawannya.

Untuk mereka, nilai dan keadaban publik hanyalah angka di atas kertas kontrak. Ruang demokrasi yang seharusnya menjadi tempat lahirnya kebenaran, kini dipenuhi oleh amarah, kebencian, dan ambisi.

Kita, sebagai bangsa, dikenal dengan kesantunan dan budaya yang luhur. Tapi di media sosial, kesantunan itu seakan menguap. Kita saling sikut demi ambisi kekuasaan. Gawai kita yang dulu menjadi alat komunikasi, kini menjadi panggung reproduksi fitnah yang tak terkendali.

Keadaban hilang, etika terkikis, dan yang tersisa hanyalah sampah digital yang merusak tatanan sosial.

Pemilu dan Pilkada, kini bukan lagi soal ideologi atau visi-misi. Ini soal elektabilitas — siapa yang paling mampu menaklukkan algoritma media sosial.

Para buzzer bekerja tanpa henti, memastikan junjungan mereka selalu di atas, meski harus menyerang hingga ke ranah privasi lawan politiknya.

Demokrasi kita, yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini terancam berubah menjadi panggung drama yang penuh dengan sampah kebencian.

Pertanyaannya, apakah suara mayoritas dalam Pemilu atau Pilkada, benar-benar mewakili suara kebenaran? Jika proses demokrasi telah dikotori oleh fitnah dan kebohongan, seperti apa sosok pemimpin yang akan lahir dari sistem ini?

Kita tidak membutuhkan pemimpin yang fasih berjanji, tetapi gagal menepati. Kita butuh sosok yang berintegritas, yang setiap kata dan tindakannya selaras. Bukan pemimpin yang hanya menambah tumpukan kekecewaan, kecemasan, dan kekhawatiran bagi masyarakatnya.

Di tengah derasnya arus perubahan digital, bangsa ini merindukan pemimpin, yang mampu mengembalikan keadaban dan kebenaran dalam ruang demokrasi kita. Yang bisa memimpin dengan integritas, bukan dengan fitnah. Yang mampu mengajak kita, kembali kepada nilai-nilai luhur, di tengah dunia yang semakin tergerus oleh ambisi dan kebencian.

Di tengah badai fitnah yang menderu, kita hanya bisa berharap, agar pemimpin yang lahir dari rahim demokrasi era digital ini, bukanlah sekadar bayangan semu dari janji-janji palsu, tetapi sosok yang mampu memimpin kita menuju masa depan yang lebih baik. (*)

Editor: Ruslan Sangadji