Kisah tentang mendiang Gubernur Galib Lasahido ini, merupakan lanjutan dari kisah sebelumnya yang berjudul: Gubernur Eddy Sabara Lahirkan Galib Lasahido. Kisah ini tentang kesepakatan para tokoh Sulawesi Tengah yang diabaikan.

DI SULAWESI TENGAH, ada kesepakatan senyap yang terjalin di antara para tokoh. Mereka, para putra terbaik dari Bumi Tadulako, pernah duduk bersama, membicarakan masa depan daerah yang kaya sumber daya alam itu.

Sebuah perjanjian gentlement terjadi: setiap pemimpin, hanya boleh memimpin satu periode saja, memberi ruang bagi regenerasi yang adil dan harmonis.

Kesepakatan itu lahir dari hati yang sama: satu periode saja. Cukup satu masa untuk setiap pemimpin. Sebuah janji untuk memberi ruang bagi generasi selanjutnya, agar kebijakan tidak terkunci pada satu orang, dan ide-ide baru selalu mengalir. Seperti sungai yang tak pernah kering.

Kesepakatan itu tidak tertulis, tidak terikat hukum, tetapi disematkan dalam hati. Hanya dengan satu tujuan: keseimbangan bagi Sulawesi Tengah, tanah yang mereka cintai.

Tokoh yang pertama kali menunjukkan komitmennya adalah Drs. H. Galib Lasahido. Pada 19 Desember 1981, ia dilantik sebagai Gubernur Sulaesi Tengah yang ketujuh.

Dan, seperti kesepakatan awal, ia hanya memimpin satu periode. Masa jabatannya hanya sampai Februari 1986.

“Ini bukan tentang kekuasaan. Ini tentang tanggung jawab dan kesempatan bagi orang lain,” kata Drs. H. Galib Lasahido dalam satu kesempatan. Ucapannya penuh makna, mencerminkan kesetiaan pada janji yang dipegang teguh.

Namun, setelah Galib Lasahido, perlahan angin berubah arah. Kesepakatan itu mulai meretak, seiring dengan waktu dan hasrat untuk kekuasaan yang kian menggumpal.

Pemimpin-pemimpin berikutnya, tak lagi tunduk pada janji mulia itu. Jabatan yang tadinya hanya satu periode, kini meluas menjadi dua.

Banyak yang terkejut, termasuk mereka yang pernah duduk bersama di meja panjang itu. Salah satunya adalah mendiang H. Rusdy Toana, seorang tokoh Sulawesi Tengah yang pada masanya ikut menyepakati regenerasi.

“Kesepakatan adanya regenerasi, putus,” katanya di suatu kesempatan kepada penulis. Ada nada getir dalam suaranya, seolah ia menyesali janji yang abai.

Rusdy Toana, dikenal sangat dekat dengan Galib Lasahido. Keduanya sudah lebih dari sekadar kakak beradik.

Setelah Lasahido, Sulawesi Tengah mulai memasuki era baru – era kekuasaan tak lagi bergulir dengan halus dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya.

Regenerasi mulai tersendat, seolah janji satu periode hanyalah cerita lama yang memudar dari ingatan. Daftar gubernur berikutnya menjadi bukti nyata perubahan tersebut.

Apakah regenerasi yang adil itu akan kembali? Tidak ada yang tahu pasti. Janji yang pernah ada, sekarang tinggal serpihan kenangan.

Dalam bayang-bayang sejarah, kesepakatan satu periode telah patah, digantikan oleh kompleksitas politik yang kian sulit ditebak.

Sulawesi Tengah terus melaju, meski kesepakatan lama tak lagi menjadi penggerak. Namun, harapan tetap ada di kalangan rakyatnya. Harapan bahwa di masa depan, keseimbangan mungkin kembali ditemukan, bahwa mimpi regenerasi yang harmonis suatu hari akan terwujud kembali.

Berikut daftar Gubernur Sulawesi Tengah dari Masa ke Masa:

  1. Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning (13 April 1964 – 13 April 1968)
  2. Kol. Mohammad Jasin (13 April 1968 – April 1973)
  3. Brigjen Albertus Maruli Tambunan (April 1973 – 28 September 1978)
  4. Brigjen Moenafri, SH (28 September 1978 – 22 Oktober 1979)
  5. Kol. R. H. Eddy Djajang Djadjatmadja (22 Oktober 1979 – 22 Oktober 1980)
  6. Mayjen H. Eddy Sabara (22 Oktober 1980 – 19 Desember 1981)
  7. Drs. H. Galib Lasahido (19 Desember 1981 – Februari 1986)
  8. H. Abdul Aziz Lamadjido, SH (Februari 1986 – 1996)
  9. Mayjen TNI (Purn) H. Bandjela Paliudju (16 Februari 1996 – 20 Februari 2001)
  10. Prof. (Em) Drs. H. Aminuddin Ponulele, M.S. (21 Februari 2001 – 24 Maret 2006)
  11. Mayjen TNI (Purn) H. Bandjela Paliudju (24 Maret 2006 – 24 Maret 2011)
  12. Drs. H. Longki Djanggola, M.Si. (16 Juni 2011 – 16 Juni 2021)
  13. H. Rusdy Mastura (16 Juni 2021 – sekarang)

Kisah ini bukan sekadar tentang politik, tapi tentang janji, tanggung jawab, dan harapan yang sempat pudar. Tanah Sulawesi Tengah, dengan segala kekayaannya, masih menunggu saat di mana kesepakatan yang patah bisa disatukan kembali. (TAMAT)