Oleh: Aslamuddin Lasawedy – Pemerhati Masalah Budaya dan Politik
SENJA di bulan April 2024 mulai meredup turun di langit kota. Ikbal, sosok yang tak asing di kalangan profesional muda, keluar dari kantor sebuah partai politik dengan langkah cepat. Di tangannya, selembar formulir pendaftaran kandidat bupati untuk Pilkada Serentak 2024.
Tidak ada perayaan besar, hanya sekadar serah terima yang singkat, dan beberapa foto bersama pengurus partai. Namun, di zaman ini, segalanya bergerak cepat – bahkan terlalu cepat.
Saat Ikbal bersiap menaiki mobilnya, ponselnya bergetar. “Selamat sore, Pak Ikbal. Saya Udin, wartawan. Mau konfirmasi, apakah benar Bapak akan maju sebagai calon bupati?” Suara di ujung telepon terdengar tenang, tapi pertanyaannya mengagetkan Ikbal. Belum juga meninggalkan halaman kantor partai, berita pencalonannya sudah tersebar.
“Tahu dari mana, saya mau maju?” tanya Ikbal dengan nada terkejut. Ia memandang sekeliling, mencoba mencari tahu bagaimana informasi itu bocor begitu cepat. Namun, tanpa jawaban pasti, perjalanan pulang ke rumahnya pun menjadi sibuk.
Telepon tak henti-hentinya berdering. Pesan WhatsApp membanjiri gawai di tangannya, datang dari teman, kolega, hingga keluarga di kampung halaman—ratusan kilometer jauhnya. Dalam sekejap, seluruh dunia tampak tahu tentang ambisinya.
Inilah dunia baru. Dunia yang dibentuk oleh kilat informasi, media sosial menjadi nadi komunikasi massa. Ikbal menyadari betapa kuat pengaruh budaya pop dalam percaturan politik modern. Medsos bukan lagi sekadar ruang berbagi cerita atau kabar, melainkan medan tempur utama bagi para politisi untuk membentuk opini publik dan memengaruhi pemilih.
Budaya Pop: Arus Utama dalam Komunikasi Politik
Pengalaman Ikbal hanyalah satu contoh kecil, dari besarnya dampak budaya pop dalam lanskap politik masa kini. Jika kita kembali ke masa lalu, kampanye politik selalu kental dengan ideologi, visi, dan program kerja yang digadang-gadang sebagai pilar utama.
Namun kini, suasana telah berubah. Politik bukan lagi sekadar urusan program kerja atau janji-janji besar, melainkan tentang bagaimana seorang kandidat menyampaikan pesannya dengan cara yang seefisien dan seefektif mungkin. Di sinilah budaya pop berperan besar.
Budaya pop hadir sebagai kekuatan yang tak bisa diabaikan. Gaya, bahasa, dan simbol-simbol yang merasuk dalam kehidupan sehari-hari menjadi alat komunikasi yang ampuh.
Pemilih muda, terutama dari generasi milenial dan gen Z, lebih tertarik pada pesan yang dikemas dalam gaya kekinian—visual yang menarik, meme lucu, video singkat yang menghibur, atau jingle kampanye yang mudah diingat.
Figur-figur populer dari dunia hiburan pun dilibatkan. Influencer dengan jutaan pengikut di Instagram, YouTube, dan TikTok sering kali menjadi “kaki tangan” dalam menyebarkan gagasan politik.
Mereka membantu para kandidat dalam memperkuat citra atau branding, sehingga terlihat lebih menarik dan relevan di mata publik yang lebih muda. Pada Pilkada Serentak 2024, semakin banyak kandidat yang sadar akan pentingnya menggandeng sosok-sosok populer ini, untuk mendongkrak popularitas.
Kampanye yang Viralkan Konten Kreatif
Pada kampanye-kampanye politik di era budaya pop, batas antara hiburan dan politik semakin kabur. Tidak sedikit kandidat yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan konten-konten kreatif mereka.
Instagram, TikTok, X, Facebook, hingga YouTube, menjadi panggung utama untuk mengkampanyekan ide-ide politik mereka. Meme, infografis, dan video-video pendek yang viral di media sosial, tak jarang diproduksi dengan kemasan yang menghibur sekaligus mendidik.
Kolaborasi dengan influencer dan selebriti menjadi hal yang lumrah, membuat kampanye terasa lebih ringan, namun tetap punya daya tarik.
Gaya kampanye pun berubah. Penggunaan elemen budaya pop seperti musik populer, film, hingga meme menjadi sarana untuk mengikat perhatian publik.
Sebagai contoh, tak jarang lagu-lagu hits disulap menjadi jingle kampanye, atau meme politik disebarkan sebagai cara jenaka, namun efektif untuk menyampaikan pesan.
Gaya dan Tampilan Kandidat: Terinspirasi Budaya Pop
Pengaruh budaya pop tak hanya terlihat dalam konten, tapi juga pada cara kandidat menampilkan diri. Gaya berpakaian, bahasa tubuh, dan cara mereka berinteraksi dengan publik diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan tren kekinian.
Kandidat yang dulunya mungkin tampil konservatif, kini tampil lebih santai dan kasual – mencerminkan gaya hidup milenial dan gen Z.
Gamifikasi, yang menjadi salah satu fenomena utama dalam budaya pop, kini juga merambah ke kampanye politik. Beberapa kandidat, bahkan menggunakan elemen permainan seperti poin, tantangan, atau hadiah untuk menarik pemilih agar lebih terlibat dalam kampanye mereka. Ini menciptakan pengalaman kampanye yang tidak hanya informatif, tapi juga menyenangkan dan interaktif.
Menjembatani Kandidat dengan Pemilih Muda
Kekuatan budaya pop, juga terletak pada gaya komunikasi. Kandidat semakin sering mengadopsi gaya bicara yang lebih personal, santai, dan spontan.
Mereka mencoba tampil lebih autentik, seolah-olah berbicara langsung dari hati, mirip dengan apa yang sering kita lihat dalam konten-konten budaya pop.
Hal ini menciptakan kesan, bahwa kandidat lebih dekat dan lebih memahami pemilih mereka, terutama pemilih pemula yang lebih terhubung dengan gaya hidup digital.
Budaya pop bukan sekadar tren sesaat, tapi sudah menjadi bagian dari strategi politik modern. Pilkada Serentak 2024 adalah ajang, di mana pengaruh budaya pop terasa begitu kental, mengubah cara kita memandang dan berpartisipasi dalam proses politik. Dari sekadar simbol hiburan, budaya pop telah menjelma menjadi senjata ampuh yang menentukan arah politik di masa depan. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan