Oleh: Darlis Muhammad

BERAKHIR SUDAH perjuangan Tim Sepak Bola Sulawesi Tengah di Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 di Aceh-Sumut. Namun hasilnya sungguh memilukan. Menjadi sebuah tragedi tragis, yang mencoreng aura sepak bola nasional. Menjadi noda dalam olahraga nasional.

Semua ini, disebabkan oleh kepemimpinan wasit Eko Agus Sugih Harto, yang gagal menjunjung tinggi prinsip fair play. Wasit Eko tidak hanya mengabaikan integritas, sebagai pengadil di lapangan, tetapi juga mencampakkan nilai-nilai keadilan yang seharusnya dia junjung.

Tak satu pun yang menyaksikan pertandingan Aceh versus Sulteng, menilai laga itu berjalan normal. Sebaliknya, semua bersepakat, pertandingan tersebut sangat berat sebelah. Wasit memihak tuan rumah Aceh secara terang-terangan.

Sulteng dihujani tiga kartu merah dan dua penalti, sementara Aceh, meski melakukan banyak pelanggaran berat yang terlihat jelas, tidak mendapatkan satu pun kartu peringatan. Sikap wasit yang kasar dan tidak bermoral ini, mengundang gelombang protes.

Setelah drama memalukan ini, sepak bola Sulawesi Tengah menjadi topik panas di media social, dan menjadi perbincangan serius di tingkat nasional. Bahkan, Presiden Joko Widodo turut merespons peristiwa ini.

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dengan tegas menyatakan akan melakukan investigasi menyeluruh terhadap insiden ini. Langkah ini tentu perlu diapresiasi, tetapi banyak yang merasa itu belum cukup, mengingat kerusakan yang terjadi pada pertandingan ini sangat besar.

Pelatih muda berbakat, Zulkifli Syukur, menyatakan, wasit telah menghancurkan masa depan sepak bola Indonesia dan mengubur harapan para pemain muda Sulawesi Tengah.

PSSI perlu mengambil tindakan radikal dan melakukan evaluasi terbuka atas hasil investigasi mereka. Sudah cukup dengan evaluasi tertutup yang selama ini sering dilakukan PSSI atas nama otoritas sepak bola.

Masyarakat Sulawesi Tengah marah, merasa harga diri mereka telah diinjak-injak. Kita diperlakukan sewenang-wenang seolah-olah mudah diatur dan ditundukkan. Padahal, seperti daerah lain, Sulawesi Tengah memiliki budaya sepak bola yang kuat. Dalam sejarah, Persipal dan Palu Putra pernah menjadi penyuplai pemain nasional.

Sepak bola di Sulawesi Tengah, bukan sekadar permainan. Ia telah berurat akar dalam budaya. Sepak bola di sini dipandang sebagai hiburan, seni dalam mengolah bola, bukan sekadar mencari kemenangan. Talenta-talenta Sulawesi Tengah, seperti Witan Sulaeman, terkenal dengan keterampilan yang menghibur.

Tagline PON XXI “Bersatu Kita Juara” terasa kosong. Penyelenggara, yang kebetulan adalah Aceh, tak sedikit pun menunjukkan rasa empati, atau hormat terhadap apa yang dialami Sulteng. Tidak ada nilai sportivitas yang tercermin. Yang ada hanyalah ambisi menang dengan segala cara, yang jelas-jelas merusak semangat PON.

Ketua Pengda PSSI Sulawesi Tengah, Hadianto Rasyid, menyebut pertandingan Aceh vs Sulteng tampaknya sudah diatur sebelumnya. Namun, ia tak bisa menjawab siapa dalang di balik skenario ini.

Ada yang berspekulasi, kericuhan ini sengaja diciptakan, untuk mengalihkan perhatian dari kasus heboh akun Fufufafa. Tapi mungkin itu hanya imajinasi liar. Ah sudahlah!

Apa pun itu, sekarang kita berada di bulan Maulid, bulan kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mengenang Rasulullah, berarti mengenang kejujuran dan rahmat yang beliau bawa. Nabiullah, seorang pembawa kedamaian bagi seluruh umat, yang tak pernah membedakan strata sosial dalam pergaulan.

Dalam konteks Pilkada, beliau adalah teladan amanah, adil, dan tak pernah ingkar janji. Calon gubernur, bupati, dan wali kota hendaknya meneladani sikap adil beliau dalam setiap tindakan.

Editor: Ruslan Sangadji