Oleh: Salihudin
PEMBAHASAN TENTANG KAMPANYE, sering kali hanya berfokus pada teknik dan strategi praktis, sementara makna yang lebih dalam, atau aspek substansialnya, jarang disentuh.
Padahal, di balik hiruk-pikuk rapat umum, debat, dan janji politik, terdapat landasan epistemologi dan ontologi yang membentuk jantung kampanye itu sendiri.
Dalam konteks Pilkada yang masa kampanyenya dimulai pada 25 September hingga 23 November, penting untuk memahami kedua dimensi ini.
EPISTEMOLOGI KAMPANYE
Epistemologi, yang mengkaji hakikat pengetahuan, dalam konteks kampanye merujuk pada bagaimana calon dan timnya memahami serta menyebarkan informasi penting kepada masyarakat.
Pengetahuan yang kuat mengenai kebutuhan, keinginan, dan aspirasi masyarakat, menjadi pondasi strategi kampanye yang efektif. Bukan sekadar janji politik, kampanye yang sukses didasarkan pada data dan pengalaman nyata.
Di sinilah riset memainkan peran penting. Riset yang baik memberikan wawasan mendalam mengenai kondisi sosial dan ekonomi pemilih, yang kemudian diolah menjadi narasi yang meyakinkan.
Tim kampanye yang memahami epistemologi dengan baik, tidak hanya menyampaikan janji, tetapi membangun kepercayaan melalui penyampaian informasi yang terukur, berbasis fakta, dan relevan dengan keadaan pemilih.
Dalam era digital, media massa dan media sosial menjadi mesin komunikasi utama yang menyebarkan pengetahuan ini. Bagaimana informasi diolah, disebarkan, dan diterima oleh pemilih merupakan bagian penting dari epistemologi kampanye. Dengan begitu, pemilih tidak hanya menerima informasi, tetapi juga memahami konteks dan relevansinya.
ONTOLOGI KAMPANYE
Ontologi, yang berkaitan dengan hakikat keberadaan. Dalam kampanye Pilkada, merujuk pada esensi kampanye itu sendiri. Apa sebenarnya kampanye itu? Lebih dari sekadar serangkaian aktivitas untuk memenangkan suara rakyat, kampanye adalah mekanisme demokrasi.
Kampanye menjadi arena interaksi antara calon pemimpin dan masyarakat. Interaksi ini, bila berlangsung secara sehat dan rasional, akan memperkuat demokrasi.
Secara ontologis, kampanye adalah refleksi dari dinamika politik yang hidup. Para pemilih tidak lagi sekadar objek yang pasif, tetapi menjadi subjek yang aktif dalam proses demokrasi.
Mereka memiliki kekuatan, untuk mempengaruhi arah politik melalui suara mereka. Kampanye, dengan demikian, tidak hanya tentang janji politik, tetapi tentang ide dan gagasan yang dipertandingkan secara terbuka.
Dalam proses ini, calon pemimpin menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, sementara masyarakat menilai mana yang dianggap paling relevan, dan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan memaknai kampanye dari perspektif ontologis, kita bisa melihat, kampanye mencerminkan perkembangan demokrasi itu sendiri. Perubahan sosial terjadi, karena demokrasi berangkat dari suara rakyat, bukan sekadar hasil dari elite politik.
Masa kampanye Pilkada 2024, yang berlangsung selama dua bulan penuh, adalah periode penting para kandidat kepala daerah, mempresentasikan program-program mereka. Melalui rapat umum, debat publik, dan kampanye di media sosial, mereka berupaya menarik hati para pemilih. Ini adalah waktu yang krusial, bagi calon menunjukkan integritas, rekam jejak, serta kemampuan untuk memimpin.
Saat kampanye berakhir pada 23 November, pemilih akan diberi waktu untuk merenungkan pilihan mereka, sebelum memasuki masa tenang. Di sinilah epistemologi dan ontologi kampanye benar-benar bekerja.
Pemilih tidak hanya memilih berdasarkan janji yang terdengar paling manis, tetapi juga berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang calon yang akan mereka pilih. Mereka telah memperoleh pengetahuan, menganalisisnya, dan kini siap untuk membuat keputusan yang rasional.
Pada akhirnya, proses kampanye bukan hanya soal siapa yang terpilih. Ini juga merupakan refleksi dari kesehatan demokrasi kita. Semakin matang cara kita memahami kampanye, semakin sehat demokrasi kita berjalan. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan