Oleh: Aslamuddin Lasawedy
Pemerhati Masalah Budaya dan Politik
SIANG ITU, Darwin berangkat kerja dengan wajah lesu. “Percuma saja melakukan berbagai inisiatif reformasi birokrasi di SKPD tempat saya bekerja. Tak ada satu pun yang direspons oleh atasan,” batin Darwin.
“Sepertinya hanya ide dari mereka yang menjadi tim sukses saat pilkada, yang dianggap masuk akal dan diterima,” lanjutnya dengan nada kesal.
Darwin, yang sudah memimpin lebih dari sepuluh Dinas atau OPD (Organisasi Perangkat Daerah) selama sepuluh tahun terakhir, mulai kehilangan semangat. Tak kurang dari lima kepala daerah pernah menjadi atasannya.
Namun, setiap kali ia menyampaikan gagasan briliannya, tak pernah mendapat tanggapan yang diharapkan. Alasannya sederhana: Darwin tak pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang menang pilkada. Ia lebih memilih netral dan tidak ikut mendukung kandidat mana pun yang bertarung.
Pengalaman Darwin adalah contoh nyata bagaimana kuatnya, meski sering terasa samar, pengaruh politisasi birokrasi pasca-pilkada. Politisasi birokrasi mempertontonkan campur tangan politik yang berlebihan dalam pengambilan keputusan birokrasi, yang justru merusak independensi dan mengurangi efisiensi layanan publik.
Birokrasi yang terpolitisasi, cenderung kehilangan sifat profesionalnya dan berfungsi sebagai alat kepentingan politik. Salah satu ciri utama dari politisasi birokrasi, adalah lelang jabatan yang dilakukan, bukan berdasarkan kompetensi, melainkan atas dasar kedekatan, atau loyalitas kepada tokoh politik atau kekuatan yang sedang berkuasa. Akibatnya, birokrasi tidak lagi netral dan profesional, tetapi lebih melayani kekuatan politik tertentu.
Politisasi birokrasi ini sering kali berujung pada korupsi, inefisiensi, dan lemahnya akuntabilitas publik. Mengapa? Karena keputusan-keputusan yang diambil lebih, berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek, daripada berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.
Ada beberapa alas an, mengapa politisasi birokrasi bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, yaitu:
Netralitas: Politisasi birokrasi menghilangkan profesionalisme dan netralitas. Birokrat yang seharusnya melayani kepentingan publik, menjadi alat untuk melayani kepentingan politik tertentu.
Transparansi: Dengan adanya politisasi, banyak keputusan yang diambil secara tertutup dan tidak transparan. Ini menghambat akuntabilitas pemerintahan dan membuka peluang untuk penyalahgunaan wewenang.
Efisiensi: Kebijakan yang lahir dari birokrasi terpolitisasi, sering kali tidak efisien karena lebih berfokus pada kepentingan politik jangka pendek, sementara tata kelola yang baik berfokus pada hasil optimal jangka panjang.
Akuntabilitas: Dalam sistem yang terpolitisasi, pejabat birokrasi cenderung lebih bertanggung jawab kepada aktor politik yang berkuasa, daripada kepada rakyat. Hal ini jelas merusak prinsip akuntabilitas yang seharusnya menjadi landasan good governance.
Sebaliknya, penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), berpotensi meminimalisasi politisasi birokrasi, dan memastikan birokrasi dapat berfungsi lebih efektif dalam memberikan layanan publik.
Tata kelola yang baik, menjamin pelayanan publik yang efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Proses pengambilan keputusan dilakukan secara cepat dan efisien, dengan alokasi sumber daya yang lebih efektif. Setiap warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan akses yang setara terhadap layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan infrastruktur.
Salah satu pilar good governance adalah transparansi. Dengan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik dan pelaksanaan kebijakan, setiap tindakan pemerintah dapat diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat, media, maupun lembaga pengawas lainnya.
Transparansi ini, meningkatkan akuntabilitas pejabat publik, mendorong mereka untuk bekerja lebih profesional dan fokus pada kepentingan umum.
Good governance juga memainkan peran penting dalam memerangi korupsi. Dengan adanya sistem pengawasan yang kuat dan ketat, peluang untuk terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme berkurang secara signifikan.
Misalnya, proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara transparan dan bebas dari praktik suap, akan mengurangi pemborosan anggaran dan meningkatkan efisiensi.
Selain itu, tata kelola pemerintahan yang baik, memastikan distribusi sumber daya dan layanan pemerintah lebih merata, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat kohesi sosial.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga dijamin, sehingga kebijakan yang diambil lebih mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Pemerintahan yang transparan, kredibel, dan akuntabel akan mendapatkan legitimasi dari masyarakat, yang pada akhirnya mengurangi risiko konflik politik dan sosial.
Singkatnya, politisasi birokrasi sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip good governance, karena cenderung melayani kepentingan politik alih-alih kepentingan publik. Sebuah birokrasi yang baik, seharusnya bebas dari intervensi politik agar dapat bekerja secara profesional, netral, dan akuntabel.
Dengan good governance, birokrasi akan mampu melayani kepentingan umum secara efisien, transparan, dan akuntabel. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan