Oleh: Aslamuddin Lasawedy
Pemerhati masalah budaya dan politik

MALAM ITU, purnama bersinar cerah di atas Danau Poso. Di salah satu sudut kota Tentena, sekelompok muda-mudi menari dengan riang, membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan. Mereka bergerak serempak mengikuti irama musik dansa elektronik (EDM) yang cepat dan menghentak.

“Malam ini kami latihan untuk lomba Dero kreasi di Tentena,” ujar Debby penuh senyum.

Tari Dero telah lama menjadi ikon budaya masyarakat Pamona di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tarian ini kerap dipentaskan dalam berbagai acara, seperti padungku (pesta panen), pernikahan, upacara adat, dan acara sosial lainnya. Dero tak hanya sekadar tari, tetapi juga simbol persatuan, kebersamaan, dan harmoni dalam masyarakat.

Awalnya, Dero diiringi dengan musik tradisional seperti gendang dan gong, tanpa adanya interaksi fisik seperti berpegangan tangan. Tarian ini dipentaskan dalam Lobo, tempat ibadah suku Pamona sebelum mereka mengenal agama-agama Samawi.

Namun, saat masa penjajahan Jepang, Dero mengalami perubahan. Ia menjadi tarian pergaulan, sebuah sarana hiburan untuk merajut persahabatan dan menjaga solidaritas. Saat itulah interaksi fisik dengan berpegangan tangan mulai diperkenalkan dalam tarian ini.

Dalam perkembangannya, Dero mengalami modernisasi. Di beberapa acara hiburan atau festival, versi modern dari Dero dipadukan dengan musik elektronik dan pop. Musisi lokal dan disjoki menyelaraskan unsur-unsur musik tradisional Poso, seperti ritme gendang dan petikan gitar, ke dalam aransemen musik dansa elektronik atau pop Indonesia. Ini membuat Dero semakin menarik, dinamis, dan meriah.

Di era digital, tarian Dero juga menemukan medium baru. Konten-konten Dero versi kreatif sering muncul di platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Hal ini tidak hanya memperkenalkan Dero kepada khalayak yang lebih luas, tetapi juga membangkitkan kebanggaan lokal serta menghubungkan diaspora Sulawesi Tengah dengan tanah leluhur mereka. Tarian Dero bahkan menjadi salah satu tren tari di media sosial.

Lebih dari itu, Dero juga menjadi alat promosi pariwisata daerah. Video promosi yang menampilkan Dero kerap digunakan untuk menarik wisatawan. Pada lomba atau festival, kostum para penari Dero sering kali dimodifikasi agar tampak lebih atraktif, menciptakan peluang bisnis baru bagi desainer dan seniman lokal.

Metamorfosis Dero menjadi bagian dari budaya pop ini menunjukkan bagaimana tradisi lokal dapat beradaptasi dengan perubahan zaman. Integrasinya ke dalam musik modern, media sosial, dan industri pariwisata membuktikan bahwa budaya tradisional tidak harus stagnan. Ia bisa terus berkembang tanpa meninggalkan akar budayanya.

Meski demikian, modernisasi Dero tidak lepas dari tantangan. Sebagian kalangan khawatir bahwa popularitas dan modernisasi Dero bisa mereduksi nilai-nilai spiritual dan kearifan lokalnya.

Benturan antar generasi, khususnya antara anak muda dan orang tua, kerap muncul terkait dengan tata cara dan konteks pementasan Dero. Beberapa orang tua berpendapat bahwa Dero sebaiknya tetap dipentaskan dalam konteks adatnya dan tidak dijadikan hiburan semata.

Pada akhirnya, Dero atau Modero kini telah menjadi bagian dari ekspresi budaya pop. Meski menghadapi tantangan, perkembangan ini memiliki dampak positif. Ia membantu menjaga relevansi dan keberlangsungan tradisi lokal di tengah arus modernisasi.

Yang terpenting, modernisasi ini harus tetap menghormati nilai-nilai asli budaya lokal agar Dero tetap menjadi simbol kearifan dan kebersamaan. (*)

Editor: Ruslan Sangadji