BERGABUNG mengikuti Shalat Tarawih pada malam pertama di salah satu masjid di Palu Barat. Ini sesungguhnya Shalat Tarawih malam kedua yang telah kujalani pada Ramadhan 1445 Hijriyah atau 2024 ini.

Ada hal yang menyedot perhatianku saat mengikuti ceramah pada malam pertama Ramadhan ini. Bukan hal yang sama sekali baru tema yang disampaikan oleh penceramah itu.

Seperti biasa, di awal Ramadhan, para penceramah akan mengutip dasar hukum berpuasa, yang termaktub dalam surat Al Baqarah 183, disusul dengan uraian tentang tiga etape capaian di bulan ini, yakni 10 hati pertama rahmat, 10 hari kedua ampunan, dan 10 hari ketiga pembebasan dari panasnya api neraka.

Penceramah yang masih berusia muda itu memilih diksi “mencari muka”. Justru karena memilih diksi itu, tema yang selama ini disajikan apa adanya dan monoton, menjadi olahan kontroversi.

Mengapa demikian?.

Ramadhan menjadi sarana cari muka, ini dia pangkal kontroversi dari isi ceramah itu.

Bukankah cari muka adalah diksi yang bermakna negatif, bahkan buruk?, dan karena itu, maka bagaimana dapat terjadi bahwa Ramadhan yang mulia dan suci dibentuk oleh elemen elemen buruk, seperti cari muka itu?.

Bahkan jika seluruh amal ibadah di Bulan Ramadhan yang dibentuk dari perilaku cari muka, seharusnya dimaknai sebagai perbuatan sia-sia, tertolak serta batal, sehingga harus dipandang sebagai produk gagal pahala Ramadhan. Begitu kan?

Hmmmm… begitu rendahnya cara saya mempersepsi diksi cari muka itu. Cari muka saya tempatkan dalam tafsir realita siklus-interaksi antarmanusia, sehingga menjadikannya buruk.

Adalah memang hal yang buruk, jika seseorang berpuasa dengan menyertakan amalan-amalan yang menyertainya, agar puasanya bukan berkategori awam, diniatkan agar dapat pujian dari manusia lainnya, apakah itu pacar, (calon) mertua, teman, tetangga, atasan dalam kerja dan lain lain yang serupa dengan itu.

Ini puasa tebar pesona namanya, menjilat suguhan hampa sang iblis, nir-ikhlas. Padahal tidak demikian meletakkan konteks cari muka dalam Ramadhan.

Seseorang cari muka dalam Ramadhan, diniat-alamatkan semata mata lillahi rabbil’alamin. Ini tidak tepat disebut sebagai hal yang buruk.

Ayoooo… berlomba lomba cari muka. Ini transmisi frekwensi yang sempurna, agar manusia dalam jangkauan radar pindaian, sehingga akan dilirik oleh Allah Subhanahu wata’ala.

Sang penceramah muda mendeskripsikan dalam ceramahnya makna dari lirikan dalam teropong religi, lalu mengatakan bahwa ummat yang dilirik oleh Rasulullah, surga adalah tempatnya.

Lalu, bagaimana jika seorang hamba, terpindai dalam lirikan Allah?.

10 hari pertama, ayo cari muka, raih lirikan kasih sayang Allah.
10 hari kedua perkuat transmisi frekwensi, raih lirikan ampunan dari Allah. 10 hari terakhir, dengan penuh khusyu’ raih lirikan Allah agar kita terbebas dari api neraka.

Penulis: M. Tavip
Editor: Ochan Sangadji