Oleh Prof. Dr. KH Zainal Abidin
Guru Besar Universitas Islam Negeri Datokarama Palu

PUASA RAMADHAN tahun ini dijalankan dalam situasi yang tidak mudah. Penyebabnya, antara lain, karena melambungnya harga-harga berbagai kebutuhan pokok. Terutama beras yang semakin menjauh dari daya beli masyarakat kecil. Tidak sedikit masyarakat yang menjerit dalam situasi seperti ini.

Di tengah realitas masyarakat yang didera kesulitan tersebut, puasa pun menemukan momentum penghayatan yang tepat. Puasa, sejatinya, merupakan ibadah yang cukup berat. Sepanjang hari orang-orang yang menjalankan dikondisikan untuk tidak makan, minum, dan beberapa aktivitas biologis yang lain.

Puasa yang demikian pasti tidak ringan. Bahkan bisa sangat menyiksa sebagian orang dengan kondisi kesehatan tertentu.
Dengan rangkaian seremonial yang demikian berat tersebut, puasa pada akhirnya dapat diposisikan sebagai simbol atau tanda (sign). Dalam studi bahasa, simbol terbangun dalam dua sisi.

Yakni struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar berupa tindakan yang nyata dan dapat dibuktikan, seperti tidak makan dan minum sepanjang hari. Sedangkan struktur dalam adalah makna-makna yang tersirat di balik aktivitas tersebut.

Makna tersirat, dalam hazanah sufistik, dikenal dengan istilah al-asrar, bentuk jamak dari sirr, yang berarti rahasia. Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi al-Dimasyqi dalam kitab Mauidzah al-Mukminin min Ihya Ulumiddin menjelaskan enam rahasia puasa. Salah satunya terkait dengan makanan.

Orang yang berpuasa, jelas al-Qaimi, perutnya sengaja dikekang agar nafsu-nafsunya tumbang dan jiwanya kuat. Berbicara soal nafsu tentu saja berhubungan dengan banyak hal. Salah satunya egoisme (al-ananiyyah).

Karakter ini lumrah menjangkiti manusia. Egoisme merupakan sebuah pandangan dan sikap yang berorientasi pada diri sendiri (self oriented). Orang yang egois hatinya keras dan tidak memiliki empati kepada sesama.

Dengan demikian, puasa, secara mukhalafah (logika terbalik) dapat dipahami juga sebagai sarana bagi umat Islam untuk menyemai benih-benih kepedulian kepada orang lain.

Saat tubuh didera lapar dan haus karena berpuasa, maka pada saat yang sama diharapkan tergambar bagaimana nasib orang lain yang setiap waktu merasakan kondisi seperti itu.

Sebagian besar orang yang berpuasa masih punya harapan untuk kembali merasakan aliran air dan asupan makanan di tenggorokan pada waktu berbuka. Namun, bagi orang lain yang lemah dan papa, makan dan minum bisa jadi merupakan perkara yang sulit dipenuhi.

Lahirnya sikap peduli sesama pada akhirnya merupakan esensi paling dalam dari puasa. Hal tersebut diperkuat dengan kewajiban zakat fitrah yang dirangkaikan dengan puasa. Setiap orang muslim yang mampu diwajibkan menyisikan sebagian harta (berupa makanan pokok) untuk dibagikan kepada orang lain.

Zakat fitrah yang dibagikan tersebut, menurut hadis Nabi Muhammad Saw, memiliki dua fungsi sekaligus. Yaitu untuk menyucikan orang yang berpuasa (tuhratun lish shaim) dan memberikan makan orang miskin (tuth’amun lil masakin).

Tidak sempurna puasa yang dijalankan jika urusan berbagi ini diabaikan, demikian kira-kira pesan yang tersirat dalam hadis tersebut.

Puasa dan berbagi ibarat dua sisi koin yang saling terhubung dan menguatkan satu sama lain. Tidak sempurna bahkan tidak bernilai sebuah koin jika salah satu dari kedua sisinya tidak ada.

Singkat kata, dengan ibadah puasa yang dijalankan diharapkan kelak akan terlahir insan-insan yang tidak hanya saleh dalam pengertian spiritual, tapi juga saleh dalam perkara sosial.

Semoga kita termasuk golongan yang demikian.

Wallahu A’lam. (*)