Oleh: Andika – Pengamat Kebijakan Publik

BAHODOPI, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, kini berdiri sebagai jantung industri nikel nasional. Di kawasan ini, industri terintegrasi tumbuh pesat, menyuplai bahan baku strategis dunia, terutama untuk baterai kendaraan listrik.

Namun, di balik gegap gempita investasi triliunan rupiah dan lalu lintas logistik yang kian padat, Bahodopi menyimpan luka pembangunan yang terus menganga. Kita menyaksikan krisis ekologis, tata ruang yang semrawut, tekanan sosial akibat ledakan jumlah pendatang, serta minimnya jaminan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.

Bahodopi kini menjadi potret nyata dari paradoks pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif dan jauh dari prinsip keberlanjutan. Dan jelas, beban persoalan ini tak bisa dipikul sendirian oleh pemerintah daerah.

Dengan kompleksitas aktor, mulai dari pemerintah pusat, pemilik konsesi tambang, perusahaan smelter, hingga investor asing, dibutuhkan sebuah lembaga khusus yang mampu menyatukan arah kebijakan dan langkah eksekusi. Karena itu, saya mengusulkan pembentukan Badan Otorita Revitalisasi Bahodopi (BORB).

BORB perlu dibentuk melalui Peraturan Presiden dan berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Badan ini harus memiliki mandat untuk menyusun dan mengeksekusi masterplan revitalisasi Bahodopi, mulai dari penataan ulang tata ruang, pemulihan lingkungan, pembangunan infrastruktur dasar, hingga penguatan peran masyarakat lokal dalam ekosistem industri.

BORB harus mengawal transformasi Bahodopi dari sekadar pusat hilirisasi nikel menjadi pusat industri dasar dan teknologi berat Nusantara. Artinya, Bahodopi tak boleh berhenti sebagai lokasi pemurnian mineral. Ia harus menjadi fondasi bagi tumbuhnya industri lanjutan: manufaktur baja tahan karat, komponen kendaraan listrik, hingga mesin industri, semua berbasis langsung pada hasil hilirisasi nikel.

Visi ini menempatkan Bahodopi sebagai ekosistem industri masa depan, lengkap dengan pusat riset, inovasi teknologi, dan pengembangan SDM lokal. Di sinilah negara seharusnya hadir: bukan hanya sebagai fasilitator investasi, tetapi sebagai penjaga arah, etika, dan keadilan pembangunan.

BORB juga harus menjadi pengawas utama pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Program CSR tak boleh berhenti pada seremoni dan papan nama. Ia harus menjawab kebutuhan nyata masyarakat: akses pendidikan, layanan kesehatan, air bersih, hingga perlindungan lingkungan.

Revitalisasi Bahodopi bukan semata soal pembangunan fisik. Ini soal menjaga martabat manusia dan masa depan bumi. Jika negara gagal memastikan bahwa pertumbuhan industri memberi manfaat nyata bagi rakyat yang menjadi tuan rumah di atas tanah ini, maka kita sedang membangun peradaban di atas puing-puing penderitaan.

Sudah saatnya Bahodopi dikelola secara luar biasa. Dan pengelolaan luar biasa hanya bisa dilakukan oleh badan otorita yang luar biasa pula.

MENGAPA OTORITA

Pembentukan BORB bukan sekadar pilihan teknokratis, tetapi kebutuhan struktural dalam menghadapi persoalan multidimensi di wilayah industri strategis. Tanpa otoritas yang kuat, koordinasi antarinstansi akan selalu lemah, regulasi tumpang tindih, dan agenda pembangunan mudah tersandera kepentingan sektoral.

Dengan otorita, negara bisa bertindak secara terpadu: memastikan keberlanjutan lingkungan, keterlibatan masyarakat lokal, dan jalannya transformasi industri ke arah nilai tambah tinggi.

Secara hukum, pembentukan badan otorita memiliki preseden kuat di Indonesia. Kita mengenal Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Otorita Danau Toba, dan Otorita Borobudur, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden sebagai turunan dari mandat Undang-Undang.

Maka BORB dapat dirancang melalui mekanisme serupa, berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator (Menko), dengan mandat lintas sektor dan kewenangan khusus untuk menjalankan program revitalisasi.

Dengan dasar hukum yang kuat dan struktur kelembagaan yang solid, BORB dapat menjadi instrumen negara dalam mengawal masa depan Bahodopi agar tidak menjadi korban eksploitasi, tetapi model pembangunan industri yang adil dan berkelanjutan. (*)

Editor: Ruslan Sangadji