INI TENTANG MAULID NABI – sayup-sayup terdengar lantunan shalawat, yang mengalun dari masjid-masjid dan mushalla. Gemericik air wudhu memecah hening, mengalirkan kesejukan yang membawa serta ingatan umat Islam kepada sosok Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sang pembawa cahaya.

Di setiap sudut, suasana peringatan Maulid Nabi begitu kental terasa, seakan waktu bergulir kembali ke masa lalu, ketika sang Rasul pertama kali hadir di dunia pada 12 Rabi’ul Awal, tahun 570 Masehi, di kota Makkah, tahun yang dikenal sebagai Tahun Gajah.

Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bukan sekadar serangkaian acara keagamaan seperti pembacaan shalawat, barzanji atau ceramah. Lebih dari itu, ia adalah momentum untuk merenungkan jejak perjuangan seorang manusia agung, yang dengan penuh kasih, membawa pesan kebenaran kepada umat manusia.

Di setiap lantunan doa, di setiap bait shalawat, terjalin erat kecintaan umat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sosok yang bagi mereka lebih dicintai daripada anak, istri, atau bahkan diri sendiri.

JEJAK SEJARAH DI BALIK SEJARAH TRADISI MAULID

Ada dua pendapat, yang mencoba menelusuri awal mula tradisi perayaan Maulid Nabi ini. Di antara sejarawan, ada yang percaya, peringatan ini pertama kali digelar pada tahun 341 Hijriah oleh Khalifah Mu’iz li Dinillah dari Dinasti Fathimiyyah di Mesir.

Namun, seperti halnya banyak tradisi besar, perjalanan Maulid Nabi tidak selalu mulus. Sempat dilarang, lalu kembali dihidupkan, hingga akhirnya melebur dalam jantung kehidupan umat Islam di seantero dunia.

Lalu, ada pula cerita tentang Khalifah Mudhaffar Abu Said, yang pada tahun 630 Hijriah, menggelar perayaan besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Ribuan hewan dikurbankan, puluhan ribu makanan disajikan, semuanya dilakukan dalam semangat persatuan menghadapi ancaman Mongol di bawah Jengiz Khan.

Di balik kemegahan acara ini, terselip pesan penting: perayaan Maulid, bukan hanya mengenang kelahiran, tetapi juga mengingatkan kita pada perjuangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai pemersatu umat.

DI INDONESIA, TRADISI YANG PENUH MAKNA

Indonesia, dengan keberagaman budayanya, telah menjadikan Maulid Nabi sebagai salah satu tradisi keagamaan yang penuh warna. Di berbagai daerah, perayaan ini disambut dengan semarak dan kegembiraan.

Dari Sabang sampai Merauke, umat Islam merangkai acara Maulid dengan berbagai bentuk: mulai dari zikir bersama, ceramah keagamaan, hingga kegiatan sosial yang ditujukan untuk mempererat tali silaturahmi, dan membantu mereka yang kurang beruntung.

Salah satu momen penting dalam peringatan Maulid Nabi, adalah penguatan kembali rasa cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti yang pernah dikatakan Nabi dalam haditsnya, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih ia cintai dari ayahnya, anaknya, dan manusia seluruhnya.”

Pada titik inilah, peringatan Maulid berperan, menyalakan kembali bara cinta dan iman dalam hati setiap mukmin.

REFLEKSI KEHIDUPAN NABI

Dalam Maulid, umat diajak meneladani perilaku mulia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang yang dikenal dengan kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kasih sayangnya kepada semua makhluk.

Melalui setiap kisah yang disampaikan dalam ceramah Maulid, umat diajak menelusuri kembali jalan hidup Nabi: bagaimana beliau bersikap penuh kasih kepada keluarga dan sahabatnya, bagaimana beliau berdiri tegar di tengah tantangan dakwah, dan bagaimana beliau tak pernah menyerah memperjuangkan kebenaran.

Al-Hafizh Jalaluddin As-Suyuthi, seorang ulama besar, pernah menyampaikan, aqiqah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, untuk dirinya sendiri setelah beliau diangkat menjadi Rasul adalah bentuk rasa syukur. Ini bukan semata ritual, melainkan ungkapan terima kasih Nabi kepada Allah atas karunia hidup yang diberi-Nya.

Dalam pandangan As-Suyuthi, perayaan Maulid Nabi adalah salah satu cara bagi umat Islam, untuk menunjukkan rasa syukur yang sama, bukan hanya dengan ritual, tapi juga dengan menyebarkan kegembiraan dan berbagi kepada yang membutuhkan.

MAULID BUKAN SEKADAR SEREMONI

Dalam ranah yang lebih luas, Maulid Nabi bukan sekadar seremoni keagamaan. Ia adalah refleksi sosial, sebuah kesempatan bagi umat Islam untuk merajut persatuan.

Sebuah penelitian dalam Jurnal Humanistika menyebutkan, peringatan Maulid pada masa lalu, khususnya di era Khalifah Mudhaffar, digunakan untuk mempersatukan rakyat, dalam menghadapi ancaman eksternal. Hari ini, peringatan Maulid juga berperan serupa, menyatukan umat di tengah tantangan zaman.

KH. Hasyim Asy’ari dalam pandangannya mengenai Maulid, sebagaimana tertuang dalam Jurnal Studi Hadis, menekankan peringatan ini bukan bid’ah, karena ia berada dalam ranah muamalah, bukan ibadah ritual.

Dengan demikian, Maulid menjadi jembatan antara dimensi spiritual dan sosial umat, mengingatkan mereka akan pentingnya meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW, dan juga menjaga persaudaraan serta semangat kebersamaan.

KEMBALI PADA ESENSI

Dalam setiap gema shalawat, setiap lantunan doa, tersimpan sebuah pesan abadi: peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah bentuk kecintaan umat kepada Rasulullah, yang tak lekang oleh waktu.

Maulid adalah ekspresi rasa syukur atas kelahiran seorang manusia agung, sekaligus pengingat akan pentingnya menjaga tali silaturahmi, dan menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh beliau.

Malam pun semakin larut, namun suasana Maulid Nabi, masih terus terasa. Di surau-surau, umat Islam masih bersimpuh, larut dalam zikir dan doa. Di setiap helaan nafas, di setiap bisikan hati, nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terus menggema, menjadi teladan dan inspirasi bagi setiap jiwa yang mendamba kedamaian. Wallahu a’lam. (*)

Ruslan Sangadji