PERDEBATAN tentang Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sering kali kembali muncul menjelang peringatan kelahiran manusia agung, yang menjadi teladan bagi umat. Uswatun hasanah.

Di satu sisi, ada yang menganggapnya sebagai bid’ah yang tidak diajarkan oleh Rasulullah. Namun, di sisi lain, banyak yang melihatnya sebagai momen penting untuk mengekspresikan cinta dan penghormatan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jadi, bagaimana penjelasannya?

Bagi banyak umat Islam, Maulid adalah kesempatan istimewa untuk mengenang kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sosok yang menjadi teladan sempurna dalam kehidupan. Tak ada yang lebih alami, daripada mengekspresikan cinta kepada seseorang yang sangat kita kagumi, bukan? Apalagi jika itu adalah Rasulullah, manusia terbaik yang pernah ada.

Salahkah kita mencintai Nabi? Tentu tidak. Justru, cinta kepada Nabi Muhammad adalah bagian dari keimanan kita. Rasulullah sendiri bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kalian sampai aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia”.

Maka, merayakan Maulid dengan niat memperingati kelahiran beliau, dan meneladani kehidupannya adalah hal yang mulia.

Bagi sebagian orang yang menganggap Maulid sebagai bid’ah, mereka sering kali terjebak pada pemahaman sempit tentang istilah “bid’ah”. Betul, Maulid memang tidak ada di zaman Nabi, tetapi tidak semua hal baru otomatis buruk.

Bayangkan ini: Al Quran dalam bentuk mushaf yang kita baca hari ini juga tidak ada di masa Nabi. Apakah itu bid’ah? Ya, tapi apakah itu buruk? Jelas tidak. Bahkan, pengumpulan Al Quran dalam satu mushaf, adalah langkah besar dalam menjaga keasliannya untuk generasi berikutnya.

Demikian juga dengan Maulid. Ini bukanlah bagian dari ibadah wajib seperti shalat atau puasa, tetapi lebih kepada tradisi yang membawa kebaikan. Kita mendengar kisah-kisah kehidupan Nabi, mengirimkan shalawat, dan mengingatkan diri untuk mengikuti teladan beliau. Jika ini membantu kita menjadi Muslim yang lebih baik, di mana letak kesalahannya?

MAULID KEKUATAN PERSAUDARAAN

Selain sebagai bentuk cinta, Maulid juga punya kekuatan besar mempererat ukhuwah di antara sesama Muslim. Di kampung-kampung dan kota-kota, perayaan Maulid menjadi momen berkumpul, berbagi cerita, dzikir, dan shalawat.

Ini adalah waktu di mana kita saling mengingatkan untuk menjaga hubungan yang baik, bukan hanya dengan Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga dengan sesama manusia.

Kadang-kadang, hal-hal yang sederhana seperti berkumpul bersama untuk merayakan Maulid, bisa menjadi cara efektif untuk memperkuat solidaritas sosial. Dan kita semua tahu, di zaman yang serba individualis ini, hal-hal seperti ini semakin langka dan sangat dibutuhkan.

Ada yang mengkhawatirkan, perayaan Maulid menjadi sekadar pesta tanpa makna. Namun, itu bukan alasan untuk menolak Maulid sepenuhnya. Seperti halnya dalam banyak hal lain, yang penting adalah niat dan cara pelaksanaannya. Selama Maulid diisi dengan dzikir, shalawat, dan pelajaran tentang kehidupan Nabi, maka ia akan menjadi momen yang penuh berkah dan manfaat.

Pada akhirnya, merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, adalah bentuk ekspresi cinta kepada Nabi Muhammad, dan cinta kepada beliau adalah bagian penting dari keimanan kita. Jika Maulid membuat kita semakin dekat dengan teladan beliau, mempererat ukhuwah, dan membawa kebaikan, apakah masih pantas untuk menolaknya dengan label “bid’ah”?

Seperti yang sering dikatakan, yang paling penting adalah niat. Selama niat kita baik dan tujuan kita untuk mendekatkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, Maulid bisa menjadi tradisi yang bermanfaat bagi umat.

Lagipula, siapa yang bisa menolak momen untuk merayakan kelahiran sosok yang paling kita cintai? (*)

Ruslan Sangadji