Fransiscus Manurung
Advokat di Kota Palu

KALAU tak ada aral melintang, Senin, 13 November 2023, KPU akan menetapkan Prabowo dan Gibran sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden, peserta kompetisi elektoral Pemilu Presiden 2024. walaupun Gibran masih berusia 36 tahun.

Gibran, meski usianya belum mencukupi 40 tahun, tetapi dinilai telah memenuhi kriteria persyaratan calon wakil presiden, berdasarkan tafsir konstitusional Mahkamah Konstitusi (MK) yang memaknai frasa “paling rendah 40 tahun, pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, dengan membolehkan yang belum berusia 40 tahun, asalkan pernah/sedang menduduki jabatan elected official. (Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 Tanggal 16 Oktober 2023 – selanjutnya Putusan 90)

Atas dasar tafsir konstitusional Putusan 90 Juncto PKPU No.19 Tahun 2023 yang telah disesuaikan, Gibran bisa “check in” di KPU dan dapat dipastikan akan menerima “boarding pass” sebagai peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI 2024.

Di sisi lain, muncul perkara baru yang dimaksudkan untuk mengoreksi Putusan 90 dan telah diregistrasi di Kepaniteraàn MK No. 141/PUU-XXI/2023, tanggal 25 Oktober 2023 – selanjutnya Perkara 141 – dan perkara 141 tersebut sementara diperiksa dan diadili di MK.

Perkara 141 diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdatul Ulama, Jakarta, bernama Brahma Aryana, lantaran dia menilai Putusan 90 keliru dan bertentangan dengan konstitusi. Untuk itu, dia mengajukan permohonan in casu Perkara 141, untuk menguji ulang konstitusionalitas frasa “berusia paling rendah 40 tahun pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang oleh MK dalam Putusan 90 telah dimaknai, menjadi:
q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilihan Umum termasuk pemilihan Kepala Daerah.

Menurut Pemohon, – dengan berbagai argumentasi yang didalilkan dalam permohonan Perkara 141 – Putusan 90 harus dikoreksi kembali oleh MK. Oleh karena itu, pemohon meminta agar frasa “yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk kepala daerah” pada Pasal 169 huruf q tafsir konstitusional menurut Putusan 90, dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi”. Sehingga, secara redaksional Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya dibaca menjadi, sebagai berikut:

“Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden adalah :
q. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi.”

Dengan kata lain, pemohon menghendaki agar tafsir konstitusional MK harus tegas dan pasti, bahwa yang dimaksud adalah kepala daerah dalam jabatan gubernur, bukan jabatan lainnya misalnya wali kota/bupati atau wakilnya, atau jabatan legislatif.

Yang menjadi persoalan hukum adalah seandainya dalam waktu dekat – quod non – MK mengabulkan permohonan Brahma Aryama seluruhnya, dan memutuskan sesuai koreksi yang diinginkannya dalam Perkara 141, apakah Putusan 141 tersebut dapat membatalkan pencalonan Cawapres Gibran, yang diusung berdasarkan Putusan 90?

Sebelum menjawab persoalan hukum tersebut, perlu pengetahuan mengenai apa yang sesungguhnya sebagai Hukum dalam putusan MK.

Pengertian Hukum dalam putusan MK adalah amar atau dictum dan ratio decidendi dari suatu putusan. Hal demikian akan menjadi jelas, manakala putusan dianalisis berdasarkan putusan.

Di dalam putusan MK yang mengabulkan suatu permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang, selain terdapat amar atau dictum yang menyatakan tidak konstitusionalitasnya norma yang diuji dan tidak mengikatnya norma tersebut secara hukum, terdapat pula pertimbangan hukum.

Di dalam pertimbangan hukum tersebut, terdapat pertimbangan hukum sebagai “obiter dicta” dan pertimbangan hukum sebagai “ratio decidendi”.

Pertimbangan hukum sebagai “ratio decidendi” itulah yang secara substansial adalah penafsiran konstitusional, yang sejatinya adalah Hukum. Oleh karena itu, berdasarkan asas non retroaktif dalam Pasal 28L ayat 1 UUD 1945, putusan 141, seandainya pun – quod non – menyatakan putusan 90 tidak berlaku lagi, hal itu tidak menimbulkan akibat hukum apa pun terhadap pencalonan cawapres Gibran.

Sebab, putusan 141 tidak berlaku surut dan tidak dapat diterapkan terhadap pencalonan Gibran yang peristiwanya telah berlalu.

Mengutip Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis, hanya orang yang tidak belajar ilmu hukum sajalah, yang mengatakan pencalonan Gibran Rakabuming Raka tidak saja. (*)