OLONGIAN TIALO hidup dalam gemuruh gong dan tabuhan gendang di bawah langit Mepanga yang bening, Sabtu, 19 Juli 2025. Di tengah iringan tarian tradisional dan lantunan doa leluhur, prosesi adat ini tak hanya menyambut pemimpin baru Parigi Moutong, tetapi juga meneguhkan bahwa kepemimpinan di tanah ini bersumber dari akar budaya, menyatu dengan jiwa rakyat, dan berpijak pada harmoni semesta.

Sebuah panggung bambu berdiri gagah, dihiasi ornamen etnik dan dedaunan segar. Di sanalah Bupati Erwin Burase dan Wakil Bupati Abdul Sahid, menjalani ritus simbolik yang tak lekang oleh zaman.

Dalam balutan busana adat, mereka menerima siga — ikat kepala khas masyarakat Kaili dan Tomini –sebagai simbol keteguhan dan kewibawaan. Bukan sekadar asesoris, siga adalah mahkota nilai-nilai yang diwariskan turun-temurun.

Prosesi berlanjut dengan pengusungan di atas kursi bambu kuning, diiringi tarian Cakalele yang gagah. Sebuah penghormatan sekaligus penegasan: inilah pemimpin yang tidak hanya hadir untuk memerintah, tetapi untuk memikul amanah suci dari leluhur dan rakyatnya.

TANGGA LANJARA, MENAPAKI JALAN NILAI

Saat Bupati dan Wakil Bupati melangkah menaiki tangga lanjara, atmosfer berubah menjadi lebih sakral.

Setiap anak tangga yang dipijak menyimpan pesan: bambu kuning sebagai lambang kemakmuran, pohon pinang sebagai cermin kejujuran, kepala buaya sebagai simbol kekuatan pelindung, dan pohon pisang sebagai peringatan akan pentingnya memberi manfaat bagi sesama.

Di akhir ritual, nampan Sinaguri menjadi medan uji simbolik bagi seorang pemimpin: apakah ia memiliki keteguhan (sinaguri), kesabaran (sulampaan), kesejukan jiwa (siranindi), perlindungan dari roh jahat (taban’ange), prinsip hidup (batu), dan keberanian (besi)?

Dilanjutkan penghamburan beras kuning menutup prosesi dengan harapan: semoga benih-benih kebijaksanaan bersemi dalam setiap langkah kepemimpinan.

BUDAYA BUKAN PAJANGAN, TAPI JATI DIRI

Dalam sambutannya yang penuh rasa haru, Bupati Erwin Burase menyampaikan, prosesi ini bukan semata seremoni, melainkan pengingat: pembangunan tanpa ruh budaya hanya akan menghasilkan struktur tanpa jiwa.

“Adat dan budaya adalah identitas sekaligus kekuatan masyarakat. Tanpa menjaga akar budaya, pembangunan akan kehilangan jiwanya,” tegasnya.

Menghadapi arus deras globalisasi, Bupati mengajak seluruh komponen masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur seperti gotong royong, penghormatan pada orang tua, harmoni dengan alam, dan hidup rukun dengan sesama.

“Itulah nilai-nilai yang sejatinya membentuk karakter Parigi Moutong,” kata Erwin Burase.

Sebagai bentuk komitmen pelestarian budaya, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong mendorong terbentuknya Lembaga Adat Desa di seluruh wilayah. Lembaga ini diharapkan menjadi mitra strategis pemerintah desa dalam menjaga, menggali, dan menghidupkan kembali kearifan lokal sebagai basis pembangunan.

“Lembaga Adat Desa adalah wadah penting untuk membumikan kembali adat istiadat di tengah masyarakat modern,” ucap Bupati seperti dikutip dari rilis Dinas Kominfo Parigi Moutong.

Ia menegaskan, adat bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi fondasi sosial untuk menghadapi tantangan masa depan.

LEBIH DARI SEKADAR SIMBOLIK

Prosesi Olongian Tialo yang melibatkan unsur masyarakat dari tiga kecamatan, yaitu Tomini, Mepanga, dan Ongka Malino, menunjukkan bahwa budaya bukan hanya milik satu kelompok, tapi milik bersama.

Dari pemuda hingga tokoh perempuan, dari pejabat hingga petani, semuanya bersatu dalam semangat yang sama, menjaga warisan leluhur dan membingkainya dalam semangat kemajuan.

Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi oleh teknologi dan individualisme, Parigi Moutong menawarkan narasi lain: modernitas bisa berjalan seiring dengan akar budaya; bahwa kepemimpinan sejati adalah yang menyatu dengan rakyat, bukan yang berjarak.

Di Parigi Moutong, adat tidak hanya dilestarikan, ia hidup. Dan melalui Olongian Tialo, rakyat tidak sekadar menyambut pemimpin, tapi juga meneguhkan kembali jati diri mereka sebagai masyarakat yang berbudaya. (*)

Editor: Ruslan Sangadji