DI TENGAH KEKHAWATIRAN atas mahalnya harga beras di pasaran, masyarakat dikejutkan oleh praktik curang dalam perdagangan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan beras: pengurangan timbangan dan pengoplosan beras.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut kerugian negara akibat modus ini mencapai hampir Rp100 triliun.
Namun di balik kerugian ekonomi yang besar, perbuatan ini juga mencerminkan kejatuhan moral yang serius.
Dalam Islam, mengurangi timbangan adalah dosa besar yang diancam langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an yang termaktub di dalam Surah Al-Muthaffifin ayat 1–3:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
Wailul lil-muthaffifīn. Alladzīna idżāktaalū ‘alan-nāsi yastawfūn. Waidżā kālūhum au wazanūhum yukhsirūn.
“Celakalah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin: 1–3)
Allah menurunkan ayat ini sebagai teguran keras kepada para pedagang yang berlaku tidak adil. Mereka menuntut haknya secara sempurna, tetapi merampas hak orang lain dengan mengurangi takaran atau timbangan. Celakalah, kata Allah, bukan hanya celaan moral, tetapi peringatan akan azab yang nyata.
Islam menjadikan kejujuran dan keadilan sebagai pondasi utama dalam transaksi. Rasulullah sendiri dikenal sebagai pedagang yang terpercaya, dan beliau bersabda dengan tegas:
Man ghasysyana fa laisa minna. “Barang siapa menipu, maka dia bukan golonganku.” (HR. Muslim).
Apa jadinya jika penipuan seperti ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar? Bukan hanya satu orang yang dirugikan, tapi jutaan rakyat kehilangan haknya. Harga melambung, kepercayaan runtuh, dan kezaliman menjalar ke seluruh sendi kehidupan. Ini bukan sekadar soal moral, tetapi pengkhianatan terhadap amanah publik.
Takaran dan timbangan bukan sekadar alat ukur; ia adalah simbol keadilan dan integritas. Bila alat ini disalahgunakan, maka keadilan pun akan ikut rusak. Maka benarlah sabda Rasulullah bahwa kehancuran suatu umat bisa dimulai dari hilangnya kejujuran dalam perdagangan.
Lebih menyedihkan lagi, praktik curang ini dilakukan di tengah stok beras nasional yang justru sedang dalam kondisi tertinggi sejak Indonesia merdeka. Artinya, krisis ini bukan karena kekurangan, melainkan karena kerakusan.
Sebagai bangsa yang menjunjung nilai agama dan keadaban, kita wajib menolak segala bentuk kezaliman dalam niaga. Negara harus menindak tegas pelaku-pelakunya. Namun lebih dari itu, umat Islam harus kembali menjadikan akhlak dagang Rasulullah sebagai teladan.
Mengurangi timbangan adalah perbuatan kecil yang berdampak besar. Di dunia, ia merusak sistem ekonomi dan memperlemah masyarakat. Di akhirat, ia membawa kehinaan dan azab. Jangan biarkan kerakusan merampas keberkahan dari negeri ini. Jujurlah dalam setiap timbangan, karena di sanalah letak ukuran keimanan. (*)
Oleh: Ruslan Sangadji


Tinggalkan Balasan