JAKARTA, KAIDAH.ID – Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melontarkan kritik tajam terhadap rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I 2025 yang tercatat sebesar 4,99 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Ia menilai sejumlah data yang dipublikasikan BPS, tidak sejalan dengan kondisi nyata di lapangan dan bahkan mengandung kejanggalan serius.

Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang diklaim mencapai 5,12 persen terlihat janggal ketika dikaitkan dengan indikator ekonomi sektoral, khususnya di sektor industri pengolahan.

“Salah satu yang paling aneh adalah pertumbuhan industri pengolahan. Selisih datanya terlalu jauh antara BPS dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur,” tegas Bhima Rabu, 6 Agustus 2025.

Padahal, data S\&P Global menunjukkan, PMI Manufaktur Indonesia berada dalam zona kontraksi sepanjang kuartal II-2025.

Pada April 2025, PMI tercatat di level 46,7, sempat naik ke 47,4 di Mei, dan kembali melemah ke 46,9 di Juni. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, bukan ekspansi.

Anehnya, BPS justru menyebut sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi kuartal II, yakni 18,67 persen dengan pertumbuhan 5,68 persen secara tahunan.

“Bagaimana bisa industri disebut tumbuh, sementara kita lihat justru banyak PHK di sektor padat karya, efisiensi perusahaan meningkat, dan bahkan ada smelter nikel yang berhenti produksi,” sorot Bhima.

Kritik Bhima juga menyasar sisi konsumsi rumah tangga yang diklaim BPS tumbuh 4,97 persen pada kuartal II-2025, sedikit meningkat dari kuartal sebelumnya. Padahal, menurutnya, tidak ada momentum musiman signifikan yang bisa menjelaskan lonjakan tersebut.

“Kuartal II 2025 cuma kebagian sedikit momen Lebaran di April. Enggak masuk akal konsumsi bisa tumbuh hanya karena liburan panjang,” katanya.

Bhima menambahkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) justru menunjukkan tren penurunan, dari 121,1 di Maret menjadi 117,8 di Juni 2025.

“Kalau keyakinan konsumen melemah, lalu apa dasar konsumsi rumah tangga bisa naik? Ini menjadi pertanyaan besar,” tegasnya.

Lebih jauh, Bhima mengkhawatirkan adanya potensi intervensi politik terhadap data yang dirilis oleh lembaga statistik negara.

Ia mengingatkan, jika kejanggalan serupa terus berulang, kepercayaan publik terhadap data resmi bisa terkikis.

“Kalau pelaku usaha tidak lagi percaya data BPS, mereka bisa kehilangan acuan strategis. Ini berbahaya. Harus ada sumber data pembanding yang independen dan kredibel,” tegasnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Semester I-2025 berada di angka 4,99 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan Semester I-2024 yang mencapai 5,08 persen.

Ia menjelaskan, rendahnya pertumbuhan kuartal I-2025 sebesar 4,87 persen turut menahan laju pertumbuhan kumulatif semester ini.

Namun, bagi Bhima dan sejumlah pengamat ekonomi lainnya, penjelasan tersebut belum cukup menjawab sejumlah anomali data di sektor riil.

Validitas data BPS kini menjadi sorotan dan dipertanyakan, bukan hanya oleh akademisi, tapi juga oleh pelaku pasar dan masyarakat luas. (*)

Editor: Ruslan Sangadji