JAKARTA, KAIDAH.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan penyimpangan penyaluran tambahan 20 ribu kuota haji 2024 yang diperoleh Indonesia melalui lobi Presiden ke-7 RI Joko Widodo kepada Pemerintah Arab Saudi.

Kuota yang seharusnya mayoritas dialokasikan untuk jemaah haji reguler itu, diduga justru banyak diberikan kepada haji khusus.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pembagian kuota seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, yakni 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.

“Tujuan permintaan tambahan kuota jelas diarahkan untuk jemaah reguler. Tapi realisasinya berbeda,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin, 11 Agustus 2025.

Berdasarkan ketentuan, dari tambahan 20 ribu kuota, seharusnya 18.400 dialokasikan untuk haji reguler dan 1.600 untuk haji khusus. Namun, KPK menduga proporsi tersebut dilanggar, sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi calon jemaah reguler.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menambahkan, perhitungan awal kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji 2023–2024 mencapai lebih dari Rp1 triliun.

“Perhitungan ini masih awal dan sudah dibahas dengan BPK, nanti BPK akan menghitung secara lebih detail,” ujarnya.

KPK telah meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan setelah memeriksa sejumlah pihak, termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Meski begitu, lembaga antirasuah itu belum mengumumkan tersangka.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mendesak KPK menjerat pihak terlibat dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk melacak aliran dana.

Ia menduga pembagian tambahan kuota dilakukan 50:50 antara haji reguler dan haji khusus, yang jelas melanggar ketentuan.

Menurut Boyamin, setiap kuota tambahan haji khusus dijual sekitar 5.000 dolar AS atau setara Rp75 juta per orang melalui konsorsium biro travel, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp750 miliar hingga mendekati Rp1 triliun.

“Dana ini tidak hanya mengalir ke perusahaan travel, tetapi juga diduga dinikmati sejumlah oknum penyelenggara negara,” tegasnya.

KPK menyatakan penyidikan dilakukan dengan dasar Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2021 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)

Editor: Ruslan Sangadji