Oleh: Ruslan Sangadji/Kaidah.ID
HALAMAN KANTOR GUBERNUR SULAWESI TENGAH, Senin, 1 September 2025, siang ini menjadi saksi sebuah peristiwa yang menyejukkan di tengah hiruk-pikuk demonstrasi mahasiswa. Massa yang datang dengan semangat kritis dan orasi lantang, berhenti sejenak ketika dua tokoh muncul di tengah kerumunan.
Rusdy Mastura, mantan Gubernur Sulawesi Tengah yang masih sangat dihormati, berdiri bersama Anwar Hafid, Gubernur yang kini memimpin.
Keduanya tidak memilih bersembunyi di balik tembok kekuasaan, tidak pula berdiri jauh di menara pengawas. Mereka turun langsung, berdiri sejajar dengan mahasiswa yang tengah menyampaikan aspirasinya.
Momen itu menghadirkan pemandangan yang jarang terlihat. Para mahasiswa, yang biasanya menjaga jarak dengan pejabat, justru mendekat dan mengulurkan tangan. Satu per satu mereka menyalami Rusdy Mastura dan Anwar Hafid, bahkan dengan penuh takzim mencium tangan keduanya.
Di tengah terik dan suara lantang, lahir kehangatan yang melampaui sekat generasi dan perbedaan pandangan. Tidak ada lagi jarak antara penguasa dan rakyatnya,yang ada hanyalah rasa saling menghormati.
Setelah itu, Rusdy Mastura memilih duduk di kursi sederhana di halaman kantor yang ia pernah pimpin. Ia menatap ke arah mahasiswa, seakan sedang menyerap semangat muda yang berkobar di hadapannya.
Ada ketenangan dalam raut wajahnya, ketenangan seorang pemimpin yang sudah kenyang pengalaman, yang tahu bahwa merangkul jauh lebih berharga daripada menghadapi dengan kekerasan.
Sementara itu, Anwar Hafid tetap berdiri, menjaga interaksi hangat dengan mahasiswa yang menghampirinya.
Pemandangan ini seakan menjadi cermin dari kepemimpinan yang ideal. Di tengah hiruk-pikuk politik yang sering keras dan penuh gesekan, hadir dua sosok yang menunjukkan bahwa kewibawaan sejati, lahir dari sikap rendah hati.
Bahwa ketegangan bisa luruh, hanya dengan jabat tangan yang tulus, bahwa rasa hormat tidak perlu dipaksakan, melainkan akan datang sendiri ketika pemimpin menunjukkan keberanian untuk hadir.
Sungguh, sikap Rusdy Mastura dan Anwar Hafid adalah teladan yang patut dicontoh. Mereka tidak hanya berdiri sebagai pejabat, tetapi tampil sebagai manusia yang mau mendengarkan, mau menyapa, dan mau merangkul.
Kehadiran mereka memberi pesan kuat bahwa di atas segala jabatan dan kepentingan, ada tanggung jawab moral untuk menjaga hubungan batin antara pemimpin dan rakyat.
Apa yang terjadi di Palu hari itu bukan sekadar peristiwa kecil, melainkan sebuah pelajaran berharga. Bahwa dalam gelombang kritik dan tuntutan, seorang pemimpin tetap bisa hadir dengan elegan, tanpa kekerasan, tanpa jarak, tanpa sekat.
Justru dengan sikap itulah mereka meninggalkan jejak mendalam di hati banyak orang. Sebuah jejak yang akan selalu diingat, kekuasaan sejati bukan untuk ditakuti, melainkan untuk membawa keteduhan bagi mereka yang dipimpin. (*)
Wallahu a’lam


Tinggalkan Balasan