Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
BUKAN HANYA DI PALU, Tolitoli Sulawesi Tengah juga punya cerita menarik. Aksi demonstrasi, Senin, 1 September 2025, yang semula berlangsung penuh semangat, justru berakhir dengan pemandangan yang tak terduga. Setelah orasi dan penyampaian aspirasi di depan kantor DPRD dan Bupati, suasana yang panas perlahan mencair. Bukannya bubar dengan wajah tegang, massa justru menemukan kebersamaan dalam cara yang paling sederhana: makan siang bersama.
Bupati Amran Yahya bersama Wakil Bupati Moh. Besar Bantilan hadir, bergabung dengan para mahasiswa dan masyarakat. Tak hanya mereka, sejumlah anggota DPRD ikut duduk beralaskan lantai halaman kantor dewan.
Nasi bungkus sederhana dibagikan oleh pegawai DPRD dan para anggota dewan, lalu dinikmati bersama-sama tanpa sekat, tanpa perbedaan. Polisi dan anggota TNI yang sejak pagi berjaga, ikut larut dalam suasana, duduk bersisian dengan demonstran, menikmati santap siang yang sama.Pemandangan itu terasa hangat, bahkan mengharukan.
Para pemimpin daerah, aparat, dan rakyat yang semula berhadap-hadapan dalam suasana penuh kritik, kini duduk sejajar, menyantap nasi bungkus yang sama.
Tidak ada kursi khusus, tidak ada meja panjang, tidak ada protokol yang kaku, hanya kebersamaan yang lahir dari kesadaran bahwa pada akhirnya, mereka semua adalah bagian dari satu rumah besar bernama Tolitoli.
Gestur sederhana ini memberi pesan kuat: aspirasi bisa disampaikan tanpa harus menciptakan jurang, kritik bisa hidup berdampingan dengan keakraban, dan pemimpin bisa menanggapi rakyatnya bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati.
Kehangatan makan siang itu menjadi simbol, bahwa demokrasi bukan semata-mata perdebatan, melainkan juga ruang untuk menjalin silaturahmi.
Apa yang terjadi di Palu dan Tolitoli hari ini, akan dikenang bukan hanya sebagai aksi demonstrasi, melainkan sebagai pertemuan bersejarah yang diakhiri dengan senyum, tawa, dan nasi bungkus yang menyatukan.
Teladan sederhana dari para pemimpin, bahwa di balik segala perbedaan jabatan dan kedudukan, selalu ada ruang untuk duduk bersama dan saling memahami.
Santap siang bersama itu bukan sekadar mengenyangkan perut, melainkan juga mengenyangkan batin. Mahasiswa yang awalnya lantang berteriak dengan wajah tegang, perlahan menurunkan nada suaranya, berganti dengan obrolan ringan sambil membuka bungkus nasi. Beberapa bahkan tersenyum ketika melihat bupati, wakil bupati, dan anggota dewan tidak segan duduk lesehan bersama mereka. Kehangatan sederhana itu menjadi penegasan, bahwa demokrasi di Tolitoli masih memiliki ruang untuk persaudaraan.
Kehadiran aparat keamanan yang ikut makan bersama memperkuat simbol kebersamaan itu. Polisi dan TNI yang biasanya dipandang sebagai “pagar” antara rakyat dan penguasa, kali ini justru melebur menjadi bagian dari rakyat itu sendiri. Tidak ada seragam yang menjadi batas, tidak ada pangkat yang membuat jarak. Semua larut dalam suasana guyub, menegaskan bahwa keamanan sejati lahir dari rasa saling percaya.
Bagi para mahasiswa, pengalaman tersebut akan menjadi kenangan yang membekas. Mereka belajar bahwa perjuangan tidak melulu diwarnai dengan ketegangan, tetapi juga bisa menemukan titik temu yang manusiawi. Bahwa aspirasi bisa sampai ke telinga pemimpin tanpa harus diiringi gesekan, melainkan lewat momen kebersamaan yang sederhana namun tulus.
Dan bagi para pemimpin, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa kepercayaan rakyat bukan dibangun dengan pidato panjang atau protokol megah, melainkan dengan kesediaan hadir apa adanya. Duduk di lantai, makan nasi bungkus, tertawa bersama rakyat, itulah wujud kepemimpinan yang sesungguhnya. Kepemimpinan yang tidak berjarak, yang merangkul dengan hangat, dan yang selalu akan dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat Tolitoli. (*)
Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan