Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID
DI SETIAP GRUP WHATSAPP, selalu ada satu spesies langka yang tak pernah punah: si serba tahu. Entah apa pun topiknya, ia akan muncul seperti iklan mie instan, selalu ada di mana-mana, kapan saja.
Grup lagi serius membahas politik nasional? Ia langsung meluncur dengan kalimat panjang penuh jargon, seolah-olah ia baru saja keluar dari rapat kabinet. Begitu topik bergeser ke gosip artis, ia pun ikut coddo dengan gaya seperti penulis berita infotainment, lengkap dengan detail yang bahkan infotainment asli pun tidak punya.
Dan ketika obrolan santai soal resep masakan, ia mendadak menjelma menjadi chef kondang, dengan tips masak rendang yang katanya diwariskan dari nenek buyut kerajaan Minangkabau.
Awalnya, anggota grup masih membaca dengan penuh rasa kagum. “Wah, luas sekali wawasannya!” Namun, seiring berjalannya waktu, kekaguman itu berubah jadi gumaman lirih: “Luas sih, tapi kok dangkal ya?” Sebab, semakin ia berbicara, semakin jelas terlihat bahwa pengetahuannya hanya sebatas kulit.
Politiknya setengah matang, gosipnya asal comot dari status Facebook orang, copy paste dari group WhatsApp lain, resepnya hasil menonton YouTube setengah menit.
Secara psikologis, fenomena ini menarik. Orang seperti ini biasanya digerakkan oleh dorongan untuk diakui. Ia takut terlihat bodoh, takut tertinggal, takut tidak jadi figuran di tengah keramaian grup. Dalam istilah keren, ia menderita fear of missing out alias FOMO.
Menurut Khairul Mujahid Sangadji, anakku yang alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, secara psikologis, FOMO adalah rasa cemas atau gelisah ketika seseorang merasa ada informasi, pengalaman, atau kesempatan yang dilewatkan orang lain tapi tidak dia ikuti.
Maka ia memaksakan diri untuk selalu hadir, selalu bicara, selalu memberi komentar. Masalahnya, ia lupa satu hal penting: dalam percakapan, tidak semua komentar itu perlu. Ada kalanya diam justru lebih bernilai, daripada ocehan panjang yang berakhir basi.
Sayangnya, si serba tahu ini tak kenal jeda. Ia seperti radio rusak yang terus menyala tanpa bisa dimatikan. Kadang komentar panjangnya muncul saat anggota lain hanya ingin sekadar bercanda ringan.
Kadang analisisnya muncul tanpa terikat topik dan Waktu. Celakanya, ia yakin sedang memberi manfaat, padahal kenyataannya ia justru bikin anggota lain lebih sering menekan tombol mute ketimbang membaca isi obrolan.
Yang lebih ironis, semakin banyak ia bicara, semakin jelas kelemahannya. Orang bijak tahu kapan harus berhenti, sementara dia mengira kebijaksanaan itu ukurannya panjangnya pesan WhatsApp. Ia ingin dianggap guru, tapi justru tampil seperti badut intelektual. Ia ingin terlihat pintar, tapi lebih sering terdengar seperti Wikipedia yang salah terjemahan.
Lama-lama, anggota grup tidak lagi menganggapnya sumber informasi. Ia berubah menjadi sumber hiburan. Komentarnya bukan lagi ditanggapi serius, melainkan jadi bahan guyonan di chat pribadi: “Eh, si Profesor Google udah muncul lagi tuh,” atau, “Tunggu sebentar, pasti dia akan kasih kuliah tentang terasi.” Begitulah, setiap kata yang ia tulis lebih sering menimbulkan tawa daripada pencerahan.
Namun yang paling tragis, ia sendiri tidak menyadari itu. Dalam pikirannya, ia sedang menjalankan misi mulia: menyelamatkan obrolan dari kebodohan, memberi cahaya pada kegelapan, menambahkan bumbu pada diskusi.
Padahal kenyataannya, ia hanyalah pengganggu yang terlalu ribut di layer poonsel. Seperti lampu sorot yang menyilaukan mata, bukannya menerangi tapi membuat silau. Seperti garam yang tumpah ke dalam sup: terlalu banyak, hingga rasa asli justru hilang.
Maka, orang ini pun menjadi pengingat yang tak pernah gagal: betapa tipis jarak antara berwawasan luas dengan sekadar pantoa alias sok tahu. Betapa mudahnya seseorang yang ingin tampil pintar, justru terlihat bodoh di mata orang lain. Dan betapa menggelikannya melihat seseorang, yang mengira dirinya sedang jadi pusat perhatian, padahal ia hanyalah latar belakang knalpot gero (knalpot rusak) yang ingin cepat-cepat dimatikan.
Akhirnya, nasib si serba tahu di grup WhatsApp itu tragis sekaligus lucu. Ia ingin jadi bintang, tetapi jadi bahan lelucon. Ia ingin jadi profesor, tetapi jadi pengajar kelas bercanda. Ia ingin jadi sumber ilmu, tetapi jadi sumber spam.
Dan semua itu ia lakukan dengan keyakinan penuh. Tanpa sadar, satu-satunya prestasi sejati yang berhasil ia raih, hanyalah: membuat orang lain makin rajin menggunakan fitur mute di WhatsApp.
Mungkin pada akhirnya, grup WhatsApp tanpa sosok serba tahu ini akan terasa sepi, seperti sayur tanpa garam — meski kalau kebanyakan garam juga bikin darah tinggi. Jadi biarlah ia tetap ada, tetap nimbrung, tetap sok tahu dengan segala dramanya.
Setidaknya, kalau bukan untuk menambah wawasan, kehadirannya bisa jadi sarana hiburan murah meriah: pengganti stand-up comedy yang selalu siap tampil, kapan saja, di layar ponsel kita. (*)
Wallahu A’lam

Tinggalkan Balasan