Oleh: Ruslan Sangadji / Wasekjen MN KAHMI Bidang Ekonomi SDA dan Geologi

Saya membaca berita di beberapa media online yang isinya cukup mengejutkan. Sekelompok pekerja tambang mendesak Presiden agar mencopot Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Alasannya, pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dinilai mengancam hilangnya pekerjaan ribuan buruh. Sekilas, tuduhan itu terdengar masuk akal. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, tudingan itu justru meleset sasaran.

Saya mengikuti proses pencabutan IUP itu melalaui media. Saya menilai, Bahlil tidak pernah gegabah mencabut izin tambang. Ia bahkan berkali-kali menegaskan: IUP tidak akan pernah dicabut jika pengusaha taat pada aturan. Dengan kata lain, buruh tidak perlu kehilangan pekerjaan bila perusahaan tempat mereka bekerja menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.

Masalah sebenarnya ada pada pengusaha yang mengabaikan kewajiban reklamasi. Padahal, reklamasi adalah hal mendasar: jaminan bahwa lingkungan pascatambang bisa kembali lestari dan aman bagi masyarakat. Apa gunanya tambang yang menyerap ribuan tenaga kerja hari ini, jika di kemudian hari meninggalkan bencana ekologis bagi anak cucu para buruh itu sendiri?

Kementerian ESDM di bawah kepemimpinan Bahlil sudah memberi ruang panjang bagi perusahaan. Tidak langsung main cabut, tetapi menempuh jalur persuasif. Dua kali surat peringatan dilayangkan, meminta pengusaha segera menempatkan jaminan reklamasi. Sayangnya, surat-surat itu seperti angin lalu, tidak digubris.

Maka, ketika akhirnya lahir surat ketiga Nomor: T-123/MB/07/DJB.T/2025 berupa sanksi administratif, itu bukan bentuk kezaliman. Itu bentuk kesabaran negara yang akhirnya sampai pada batasnya. Kalau pengusaha masih juga membandel, siapa yang layak dipersalahkan? Menteri atau pengusaha itu sendiri?

Bahlil sangat memahami betapa sektor tambang menyerap tenaga kerja. Ia juga tahu tambang memberi pemasukan besar bagi negara. Namun, ia juga tahu tambang bisa jadi bumerang jika kewajiban reklamasi diabaikan. Karena itu, ia memilih langkah bijak: tegas menegakkan aturan, tetapi tetap memberi ruang bagi pengusaha untuk memperbaiki diri.

Di sinilah letak keberpihakan Bahlil. Ia tidak hanya berpikir hari ini, tetapi juga besok dan lusa. Ia tidak hanya melihat nasib buruh sekarang, tetapi juga masa depan keluarga mereka yang akan hidup di lingkungan pascatambang. Bagi Bahlil, melindungi lingkungan berarti juga melindungi buruh dari bencana di masa depan.

Ironisnya, ketika Bahlil menegakkan aturan, justru ia yang dituding penyebab ancaman PHK. Padahal, jika ditarik benang merahnya, buruh kehilangan pekerjaan bukan karena menteri, tetapi karena pengusaha yang enggan memenuhi kewajiban. Mereka ingin terus menggali keuntungan tanpa mau menanggung konsekuensi hukum, tanpa mau menanam lewat jaminan reklamasi alias jamrek.

Buruh wajar takut kehilangan mata pencaharian. Ketakutan itu manusiawi. Tetapi mereka perlu melihat akar masalah dengan jernih. Jika perusahaan benar-benar peduli pada nasib buruh, mestinya mereka segera memenuhi kewajiban jamrek. Dengan begitu, izin tetap berlaku, buruh tetap bekerja, dan negara tidak perlu turun tangan.

Sayangnya, dalam masalah ini, sebagian buruh diarahkan untuk menyalahkan menteri, bukan perusahaan. Padahal, yang memperjuangkan kepastian kerja justru Kementerian ESDM yang dipimpin Bahlil Lahadalia, dengan cara memastikan perusahaan tetap beroperasi secara legal, aman, dan berkelanjutan.

Sikap Bahlil juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak anti-investasi. Ia hanya menolak investasi yang rakus, yang menambang tanpa aturan, lalu pergi meninggalkan kerusakan. Ia ingin investasi yang sehat, adil, dan berjangka panjang. Investasi yang menguntungkan pengusaha, tetapi juga tidak melupakan nasib rakyat dan lingkungan.

Tuduhan bahwa Bahlil harus dicopot justru mengaburkan persoalan sebenarnya. Itu salah alamat. Sebab, yang pantas dipertanyakan bukan ketegasan pemerintah, melainkan kenapa masih ada pengusaha yang enggan menunaikan kewajiban. Mengapa buruh diminta membela manajemen yang lalai, sementara menteri yang menegakkan aturan dijadikan kambing hitam?

Saya melihat, apa yang dilakukan Bahlil dan Kementerian ESDM, bukan sekadar soal administratif, tetapi soal keberanian. Keberanian untuk mengatakan tidak pada pengusaha yang lalai. Keberanian untuk menanggung risiko tuduhan, demi menjaga kepentingan lebih besar. Keberanian untuk menempatkan kepentingan rakyat dan lingkungan di atas keuntungan jangka pendek.

Membela Bahlil Lahadalia, sama dengan membela akal sehat. Karena tanpa ketegasan semacam ini, sektor tambang hanya akan meninggalkan lubang besar: lubang di perut bumi, lubang di kehidupan masyarakat, bahkan lubang di masa depan generasi buruh itu sendiri.

Dan pada akhirnya, satu hal harus kita ingat: buruh tidak akan kehilangan pekerjaan jika pengusaha taat aturan. Pesan Bahlil sederhana, tetapi tegas. Jadi, jangan salahkan Bahlil. Salahkanlah pengusaha tambang yang lalai.

Wallahu a’lam