Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

SORE ITU, Kamis 26 September 2025, The Club Djakarta Theater berubah menjadi panggung semangat baru bagi Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Wajah-wajah muda memenuhi ruangan, sebagian besar tampak begitu percaya diri dengan kemeja putih dan senyum penuh optimisme.

Namun di tengah lautan energi muda itu, ada satu sosok yang berbeda – lebih matang, lebih berpengalaman, tapi justru paling membakar semangat: Ahmad H.M Ali atau karib disapa Ahmad Ali.

Ahmad Ali, kelahiran 16 Mei 1969, bukan orang baru di dunia politik. Jejaknya panjang. Dari kursi DPRD Morowali, Bendahara Umum Partai Golkar Sulawesi Tengah, hingga naik ke Senayan sebagai Anggota DPR RI sejak 2014.

Di parlemen, ia dikenal sebagai politisi NasDem yang vokal, pernah duduk di Komisi III dan dipercaya memimpin Fraksi. Bahkan, ia sempat menjadi Wakil Ketua Umum Partai NasDem – posisi strategis yang menandai bobot pengaruhnya.

Namun kini, garis politiknya berbelok. Di hadapan Kaesang Pangarep, Ketua Umum PSI yang jauh lebih muda darinya, Ahmad Ali resmi diambil sumpah sebagai Ketua Harian PSI. Di atas kertas, ia adalah pengurus tertua dalam struktur yang baru. Tetapi di atas panggung, justru dialah yang paling berapi-api.

“Pak Jokowi adalah modal utama kita, Mas Kaesang juga modal utama kita. Maka menjadi kewajiban kita menjaga imej kedua tokoh ini. Pak Jokowi tidak membutuhkan PSI, tetapi PSI yang membutuhkan Pak Jokowi,” ujarnya dengan suara lantang.

Pidatonya bukan sekadar seremonial. Ahmad Ali melempar tantangan, sekaligus otokritik. Ia mengingatkan bahwa selama ini Jokowi kerap diserang, sementara kader PSI memilih diam.

“Ke depan tidak boleh lagi seperti itu. Kalau kita mengaku Jokowi sebagai panutan, maka kita harus berdiri di garda terdepan membela kehormatan beliau. Setuju? Sanggup?” serunya, memecah hening. Dan serentak, para kader muda menjawab: “Setuju! Sanggup!”

Suasana berubah. Energi ruangan yang sebelumnya penuh optimisme kini dipenuhi adrenalin. Kata-kata Ahmad Ali seolah menyuntikkan kesadaran bahwa PSI tidak boleh lagi hanya menjadi partai pinggiran.

Tak hanya soal Jokowi, ia juga menyentil pentingnya konsolidasi dan evaluasi. Kekalahan dua kali di pemilu harus dijadikan cermin. PSI, katanya, bukan lagi bicara apakah lolos ke Senayan 2029 atau tidak. “PSI harus bertekad menang besar,” tegasnya.

Ia pun menuntut disiplin organisasi. Tidak boleh ada lagi sekat “orang lama” dan “orang baru”. Semua adalah kader PSI, semua harus tunduk pada satu patron: Ketua Umum. “Tidak ada matahari kembar di partai ini,” ucapnya, tegas.

Pidatonya menjadi semacam deklarasi perang – perang melawan kelemahan internal, perang melawan keraguan, dan perang melawan apatisme. Dengan latar pengalaman panjang, Ahmad Ali tampak siap menjadi penyeimbang sekaligus penggerak di tengah dominasi anak muda PSI.

Sore itu, di bawah sorot lampu The Club Djakarta Theater, sosok politisi senior dari Morowali itu menunjukkan satu hal: semangat bukan soal usia. Ia adalah api tua yang justru menyulut bara muda PSI untuk menyala lebih terang. (*)

Wallahu a’lam