Artikel ini ditulis oleh Evi Mariana di The Jakarta Post, pada 10 Oktober 2018, dengan judul: Veteran journalist finds himself part of Palu tragedy. Kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, dengan mengubah nama Ruslan Sangadji menjadi “Saya”.

Saya, jurnalis The Jakarta Post, telah menetap di Palu, Sulawesi Tengah, selama hampir 30 tahun. Sebagai jurnalis, saya pernah meliput konflik berdarah di Poso pada akhir 1990-an hingga 2000-an, dan kemudian tsunami dahsyat di Aceh pada 2004.

Ketika gempa kuat mengguncang Palu pada 28 September 2018, saya sedang mengemudi dengan anak saya yang berusia 5 tahun duduk di kursi depan, di samping saya, sambil tertidur. Kami cukup jauh dari pantai. Hanya beberapa menit setelah guncangan, saya mengirim pesan ke grup koresponden regional The Jakarta Post:

“Baru saja gempa besar. Mobil saya hampir terbalik. Mungkin magnitudo 10.”

Setelah itu, komunikasi dengan saya terputus selama berjam-jam akibat listrik dan jaringan yang lumpuh total di Kota Palu serta Kabupaten Sigi dan Donggala.

Lima hari kemudian, jurnalis The Jakarta Post Evi Mariani berbicara dengan saya — pertama sebagai penyintas, lalu sebagai jurnalis — tentang hari-hari pertama yang mencekam setelah gempa bermagnitudo 7,4 dan tsunami yang mengikutinya. Belakangan, saya juga mengirimkan kisah para penyintas lainnya kepada The Jakarta Post.

Inilah kisah saya:

Mencari Anak Saya

Beberapa jam setelah gempa dahsyat itu, Kota Palu seakan mati dan mencekam. Saya mengemudi berkeliling kota bersama putri saya, Lovely Nukila (5 tahun – Ketika itu), untuk mencari putra saya, Akbar Fawa’id (14 tahun). Malam itu saya tidak melihat satu pun mobil atau sepeda motor di jalan.

“Mencekam, malam pertama itu benar-benar mencekam,” kata saya. “Malam gelap gulita. Palu mati. Saya melihat orang-orang berada di luar rumah, duduk, menangis. Saya mendengar ada yang merintih kesakitan. Tapi ada juga orang-orang yang berjaga, membantu pengendara seperti saya, memberi tahu agar tidak melewati jalan yang rusak. Jalan itu bergelombang seperti ada polisi tidur akibat retakan. Mereka bilang, ‘belok kiri, jangan lewat sini, jalannya rusak’.”

Dalam pencarian putra saya yang hilang kontak selama berjam-jam setelah gempa, saya harus delapan kali berputar arah untuk mencari jalan yang masih bisa dilalui.

“Rasa takut mulai tumbuh dalam diri saya, tetapi saya harus terus maju. Saya bersumpah, malam itu juga saya harus menemukan anak saya, atau saya akan kehilangannya selamanya.”

Setelah hampir delapan jam pencarian, akhirnya saya dan Lovely berhasil bertemu kembali dengan Fawa’id. “Saya menangis untuk pertama kalinya sejak gempa ketika melihat anak saya,”. “Saya tidak hanya memeluk Fawa’id, saya gendong dia sampai akhirnya dia meminta saya menurunkannya.”

Belakangan, anak saya bercerita bahwa ia dan teman-temannya sempat naik ke pegunungan karena takut tsunami. Saat itu saya bahkan belum tahu soal tsunami, hingga anak saya sendiri yang memberi tahu.

Pukul tiga dini hari, saya bersama seorang jurnalis lain pergi ke pantai. “Ya Tuhan, mayat-mayat berserakan di mana-mana,”.

Ketakutan dan Penjarahan di Palu

Dalam pencarian anak saya, saya sempat melewati jalan di dekat Petobo, wilayah yang hancur akibat likuefaksi — proses geologi ketika struktur tanah runtuh karena guncangan kuat. Saya tidak bisa melihat jelas kejadiannya, tetapi saya mendengar gemuruh dan melihat lumpur.

“Saya terkejut mendengarnya, tapi saat itu saya tidak tahu apa itu. Saya langsung lari menjauh. Saya peluk erat putri saya karena ketakutannya semakin besar,”.

Keesokan paginya, ketika saya mewawancarai seorang penyintas bernama Nasrudin, warga Kelurahan Petobo, barulah saya mendengar kisah lengkap tentang peristiwa itu — yang sesungguhnya tidak banyak diketahui orang Indonesia. Para penyintas yang menyaksikan likuefaksi menyebutnya sebagai “tsunami darat”.

“Hanya mengenakan celana dalam dan sambil menangis, Nasrudin menceritakan kisahnya,”. Saat gempa terjadi, ia berada di kamar mandi. Ia berlari keluar dan menyuruh istri serta anaknya lari menyelamatkan diri.

Setelah guncangan berhenti, ia kembali ke rumah untuk mengambil handuk, lalu berlari ke arah utara. Ketika menoleh ke belakang, ia melihat rumahnya bergerak dan muncul lumpur.

Seorang penyintas lain, Yusuf Hasmin, mengatakan ia melihat lumpur bergulung seperti ombak laut.

Pagi itu, saya mulai mencari bantuan. Dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saya mendapat lima tenda untuk keluarga besar saya — terdiri atas 35 orang, termasuk saya. Kami mendirikan tempat berlindung di Jalan Guru Tua, Kalukubula. Tiga tenda saya berikan kepada keluarga lain, sementara dua sisanya untuk keluarga saya sendiri.

Namun pada Sabtu malam, hujan deras turun, dan tenda seadanya itu tidak cukup besar untuk menampung kami agar tetap kering. Maka pada Minggu, saya kembali keluar mencari tenda yang lebih besar.

Bertemu Tentara dan Birokrasi Bantuan

Saya bertemu seorang prajurit TNI yang berteriak pada saya, menyuruh saya diam karena ia sibuk. Dua kali ia mengancam akan memukul saya jika saya terus meminta tenda.

Kemudian saya bertemu seorang teman yang baru saja pulang dari posko bantuan utama untuk meminta suplai makanan. Seorang pejabat pemerintah di sana mengatakan bahwa ia harus membawa Kartu Keluarga (KK) agar bisa mendapatkan bantuan.

“Mendengar itu, saya tertawa. Kartu Keluarga, sungguh? Bagaimana mungkin kami menyiapkan Kartu Keluarga dalam situasi seperti ini?”.

Lima hari setelah gempa, bantuan belum juga disalurkan dengan semestinya. Orang-orang mulai mendirikan posko bantuan sendiri di lingkungannya. Namun alih-alih membagikan bantuan, posko-posko itu justru meminta suplai, dengan papan bertuliskan: “Kami butuh bantuan”.

Lalu penjarahan pun dimulai. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri dua kejadian. “Salah satunya terjadi di toko Alfamidi di Jalan Touwa, tepat di depan markas militer. Banyak orang berkumpul di sana. Kejadian kedua di Alfamidi di Jalan Guru Tua,”. “Orang-orang lapar.”

Saya tidak pernah tergoda untuk ikut menjarah, karena “untungnya” saya masih punya sedikit makanan dari belanja di bak mobil pikap. Saya juga menemukan sebuah toko yang menjual air minum dalam kemasan dan kemudian pasar yang menjual ikan dari Kabupaten Parigi Moutong.

Kisah Para Penyintas

Rumah saya yang sudah puluhan tahun berdiri, hancur total. Dalam sebuah foto yang tersisa, lantai dasarnya sama sekali lenyap; hanya sebuah pintu yang masih tegak berdiri.

“Tentu saja saya sedih dengan rumah saya. Saya membangunnya sejak masih bekerja di kantor berita Antara. Rumah itu rampung setelah saya bergabung dengan The Jakarta Post.

Namun saya telah menerima kehilangan tersebut. Barang bisa diganti, tapi nyawa tidak.

Rumah saya yang roboh tapi tidak dapat bantuan pemerintah

Seorang kerabat saya, Fadel, masih mencari putrinya, Rahmi. “Rumahnya dekat pantai, sekitar 2 kilometer dari garis pantai. Saya mencarinya ke rumahnya, dan di pintu rumah saya melihat secarik kertas dengan pesan yang menuliskan nama ketiga anak mereka: ‘Rahmi, Alam [dan satu lagi saya lupa], Mama dan Papa ada di lapangan depan Masjid Agung’.

Jantung saya serasa berhenti membaca itu. Tiga anak itu terpisah dari orang tuanya,”

Seorang teman saya lainnya, anggota DPRD Sulawesi Tengah, Yahdi Basma, kehilangan ibunya akibat likuefaksi. Kami bertemu, dan saya ikut membantu mengevakuasi jenazah ibunya dari lumpur dan reruntuhan.

“Saya ikut bersama Yahdi dan beberapa personel tantara untuk mengevakuasi jenazah ibunya. Lumpur memang sudah mulai kering, tapi saya sempat menginjak bagian yang masih basah dan lunak, hingga setengah kaki saya terbenam.

Diperlukan tujuh orang untuk mengangkat jenazah ibunya Yahdi, karena ia terkubur di bawah reruntuhan. Ada yang harus menggergaji balok kayu, lalu kami hati-hati menarik tubuhnya agar tidak rusak.

“Kami harus benar-benar hati-hati. Lalu kami bergantian mengangkat jenazahnya; berat, dan jalannya menanjak.”

Di Petobo, banyak penyintas masih mencari lokasi pasti rumah mereka, yang bergeser akibat likuefaksi. Tim SAR kesulitan mengevakuasi jenazah yang terkubur dalam lumpur.

Seorang penyintas lain, Heny Kurheco, bersama ibunya menjaga warung makan di Festival Palu Nomoni ketika tsunami datang. Ia bercerita, ombak menghantam mereka, tapi ia dan ibunya masih bisa selamat.

“Mama, aku tahu Mama kuat. Kalau kita mati, mari kita mati bersama,” kenang Heny berkata pada ibunya.

Mereka selamat dengan berpegangan pada Jembatan Ponulele selama 30 menit, meski berkali-kali dihantam ombak besar.

Saat bencana datang, banyak orang sedang berada di pantai untuk menyaksikan Festival Palu Nomoni.

Asti hadir bersama putrinya, Ramadani, salah satu penampil acara. Ramadani berjalan meninggalkan ibunya untuk bergabung dengan para penari lain. Asti sempat mencium putrinya sore itu. Itu ciuman terakhir.

Keesokan harinya, Asti harus mengambil jasad putrinya dari dalam kantong jenazah. Ramadani ditemukan di antara hutan bakau dekat Jembatan Ponulele.

Seorang penyintas lain menceritakan kisah pilunya. Ia bersama tiga anggota keluarga duduk dan makan di tepi pantai, menunggu pertunjukan di panggung utama festival. Saat ombak datang, mereka berempat berpegangan tangan, tapi terus dihantam sampah dan puing terbawa air.

Sampai akhirnya hantaman keras memisahkan dua anggota keluarganya. Ia berusaha sekuat tenaga menggenggam kerabatnya yang tersisa, tetapi ombak kembali menghantam dan cengkeramannya terlepas. Ia kemudian mendapati dirinya seorang diri di atap rumah. Semua keluarganya hilang.

Di kompleks perumahan Balaroa, Palu Barat, pemandangan yang menyayat hati tersaji. Tim SAR menemukan empat jasad masih saling berpelukan.

“Saya sangat mengenal keluarga ini. Mereka orang baik, sederhana, yang tidak mendapat kesempatan kedua untuk hidup,”.

Kesempatan Kedua untuk Hidup

Saya mengulang kalimat ini berkali-kali, seolah menjadi mantra. Saya pertama kali mendengarnya dari seorang penyintas yang saya wawancarai sehari setelah bencana.

Pengalaman saya meliput tsunami Aceh maupun konflik Poso tak pernah benar-benar mempersiapkan saya untuk ini. “Sungguh berbeda, menjadi penyintas sekaligus jurnalis yang meliput bencana. Jauh lebih sulit.

Selama tiga hari pertama saya keluar mewawancarai orang, saya kira itu bisa membantu meredakan trauma. Tapi lalu saya berhenti. Antara tugas sebagai jurnalis, membantu orang lain, dan menjaga anak-anak saya, semuanya terlalu berat,”.

Pada hari kedua pascagempa, anak-anak saya mulai gelisah. Mereka terbangun di malam hari sambil menangis, sebagian karena gempa susulan yang kuat. Pada hari kelima, saya membawa anak-anak saya ke orang tua di Ternate.

Saya berhasil menumpang Hercules TNI AU ke Makassar, lalu melanjutkan penerbangan komersial ke Ternate, Maluku Utara.

Kembali ke Palu

Meski mengalami pengalaman mengerikan, saya bersikeras kembali ke Palu. Pihak redaksi The Jakarta Post bahkan mengatakan saya tak perlu mengirim laporan karena saya penyintas.

“Tapi saya harus. Saya harus bekerja dan membantu orang. Palu adalah rumah saya, tempat kerja saya,”.

Seorang pengusaha Indonesia keturunan Korea, Mr. Kim menghubungi saya, meminta saya membantu menyalurkan bantuan. Setelah memastikan anak-anak saya aman bersama orang tua, saya kembali ke Makassar untuk membeli sembako bantuan. Adik saya, Ikram, ikut bersama saya.

Saya dan teman-teman dari kantor Mr. Kim, Eeng dan Irfan menyewa sebuah ambulans agar bisa membawa bantuan ke Palu tanpa dicegat penyintas yang sangat membutuhkan.

Sebelumnya, saya telah menulis berita tentang truk bantuan yang dicegat dan dijarah. Karena itu, saya bertekad agar bantuan yang saya bawa bisa sampai ke pemukiman terpencil.

Pada Sabtu dini hari, saya berangkat membawa kotak-kotak bantuan — popok sekali pakai, susu bubuk, pembalut, bahan bakar, air minum, ikan teri kering buatan keluarga di Ternate — dari Makassar untuk perjalanan darat 24 jam menuju Palu.

“Tidak ada gunanya mengeluh. Kita harus menerima dan bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup, agar bisa berbagi dengan orang lain semampu kita,”.