ASAP PUTIH itu keluar pelan dari ujung cerobong setinggi tiga puluh meter. Tak pekat. Tak hitam. Hanya tipis, seperti kabut pagi yang menandakan mesin-mesin raksasa di bawahnya sedang bekerja. Di balik suara logam yang berpadu dengan dengung generator, PT Hua Chin Aluminium Indonesia (HCAI) sedang mempraktikkan sesuatu yang jarang terdengar dari industri berat: menambang efisiensi dari udara buangan.

Di ruang kontrol pabrik, Liu Hong, Supervisor bagian Pemurnian HCAI, menatap layar digital yang menampilkan angka-angka kadar emisi gas buang. Tangannya menunjuk satu grafik menurun perlahan. “Kami tidak hanya ingin membuat aluminium,” katanya. “Kami ingin memastikan udara di luar sini tetap bisa dihirup.”

Kalimat Liu terdengar sederhana, tapi di baliknya ada investasi besar dan sistem teknologi rumit. Sejak awal beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), HCAI membawa konsep produksi tertutup — model yang memungkinkan material sisa dan energi panas dari proses peleburan alumina dimanfaatkan kembali. Prinsipnya: tidak ada yang benar-benar terbuang.

Gas yang Tak Dibiarkan Lari ke Langit

Produksi aluminium dimulai dari bubuk putih bernama alumina (Al₂O₃). Dalam proses peleburan, bubuk itu bereaksi pada suhu tinggi hingga berubah menjadi logam cair yang berkilau seperti perak panas. Dari reaksi itulah muncul emisi gas buang, yang umumnya berisi ion hydrogen fluoride (HF) — senyawa toksik yang, jika terlepas tanpa pengolahan, bisa mencemari udara dan tanah.

Di pabrik HCAI, gas itu tidak langsung dibiarkan keluar melalui cerobong. Ia ditarik masuk ke instalasi pemurnian yang disebut dry-scrubbing system. Dalam sistem ini, gas buang melewati serangkaian filter kering yang memerangkap senyawa berbahaya dan sekaligus memulihkan kembali unsur HF untuk digunakan kembali dalam proses produksi.

“Gas yang sudah kami bersihkan punya kadar HF kurang dari 0,6 miligram per meter kubik, dan debu di bawah tiga miligram,” kata Bayu Yuda Andika, Supervisor Environmental HCAI, sembari menunjukkan catatan hasil pengukuran. “Itu jauh di bawah ambang batas nasional.”

Teknologi ini membuat HCAI tak hanya memenuhi standar lingkungan, tapi juga menekan ongkos bahan baku. HF yang dipulihkan kembali digunakan untuk membuat aluminium fluoride, komponen penting dalam elektrolisis aluminium. Tanpa sistem pemulihan, perusahaan harus membeli bahan ini dalam jumlah besar dari luar negeri.

Bayu membuka perhitungannya. Dalam setahun, perusahaan mengeluarkan sekitar 3.500 yuan atau sekitar Rp32,3 miliar, untuk memasok 4.204,9 ton aluminium fluoride. “Kalau tak ada sistem recovery, biayanya bisa dua kali lipat,” ujarnya.

Di dunia industri, efisiensi bukan hanya tentang menghemat bahan, tapi juga mempertahankan daya saing di pasar global yang kian menuntut rendah emisi.

Kokas, Gas, dan Kesadaran Baru