Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

Dalam setiap nada, tersimpan kerja panjang dan ruh kreatif yang tak ternilai. Tapi keindahan musik seringkali tak seimbang dengan keadilan bagi penciptanya. Di sinilah pentingnya pembenahan lembaga yang mengelola hak-hak mereka.

Dalam beberapa waktu terakhir, saya mengikuti berbagai pemberitaan tentang Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dari sejumlah media dan keterangan yang beredar, terlihat bahwa lembaga ini tengah menata diri. LMKN mulai berbenah — memperkuat transparansi, memperbaiki sistem, dan berusaha memulihkan kepercayaan para pencipta lagu serta pelaku industri musik.

Dari luar, langkah ini terasa penting. Karena selama ini, isu seputar royalti musik sering memunculkan pertanyaan. Ada pencipta yang merasa belum mendapat haknya secara layak, ada yang mempertanyakan dasar pembagian, dan tak sedikit yang menuntut keterbukaan data. Semua itu bukan bentuk penolakan terhadap LMKN, melainkan dorongan agar lembaga ini menjadi lebih adil dan bisa dipercaya.

Dari pemberitaan yang saya ikuti, LMKN kini sedang mempersiapkan sistem digitalisasi untuk mendukung proses pendataan dan distribusi royalti. Prinsipnya sederhana: setiap pemutaran lagu di berbagai media — mulai dari radio, televisi, tempat publik, hingga platform digital — harus bisa tercatat secara real time dan otomatis. Dengan data yang akurat, pembagian royalti dapat dilakukan secara objektif dan terukur.

Bagi saya, arah ini sudah benar. Tanpa data yang kuat dan sistem yang transparan, keadilan hanya akan menjadi cita-cita yang belum tercapai. Teknologi menjadi kunci untuk memastikan setiap pencipta lagu menerima haknya sesuai dengan penggunaan karya mereka di lapangan.

Dalam konteks ini, saya menilai sistem seperti Velodiva sebagai contoh yang baik. Meski belum digunakan oleh LMKN, Velodiva memiliki potensi besar dalam membantu proses pendataan dan distribusi royalti secara lebih transparan dan akurat.

Saya tidak kenal siapa pemilik platform ini, tetapi dari bacaan saya, sistem seperti ini, jika suatu hari diterapkan akan sangat membantu dalam memperkuat kepercayaan publik dan menegakkan prinsip keadilan bagi para pencipta.

Namun tentu, teknologi hanyalah alat. Yang paling penting adalah komitmen dari semua pihak — baik LMKN, para pengguna musik, maupun para pencipta — untuk menjaga integritas, memperbarui data secara disiplin, dan membuka ruang dialog publik. Tanpa budaya akuntabilitas, sistem secanggih apa pun tidak akan berarti.

Saya melihat langkah-langkah LMKN menuju keterbukaan sebagai awal yang positif. Lembaga ini mulai berbicara lebih jujur tentang prosesnya, membuka ruang penjelasan, dan menata ulang sistem kerja. Memang belum sempurna, tapi arah geraknya sudah jelas: menuju lembaga yang bersih, transparan, dan berpihak pada keadilan.

Perubahan tentu tidak akan terjadi dalam sekejap. Akan ada kritik, bahkan keraguan. Namun, selama pembenahan ini dilakukan dengan niat yang tulus dan arah yang konsisten, LMKN bisa menjadi lembaga yang benar-benar dipercaya oleh para pencipta musik Indonesia.

Musik lahir dari kejujuran dan rasa. Maka, pengelolaan haknya pun harus dilakukan dengan kejujuran dan rasa keadilan.

Saya percaya, jika LMKN terus melangkah di rel pembenahan ini — dan kelak didukung oleh sistem digital yang solid seumpama Velodiva — maka masa depan industri musik Indonesia akan jauh lebih sehat dan bermartabat. (*)