Oleh: Saleh Awal / Wakil Ketua KAHMI Sulteng
DALAM MOMENTUM Musyawarah Wilayah Himpunan Pengusaha KAHMI (HIPKA) Provinsi Sulawesi Tengah, kisah para pengusaha yang tumbuh dari bawah menjadi sumber inspirasi tersendiri. Salah satu di antaranya adalah Hadizchal — atau akrab disapa Ichal — sosok KAHMI Muda yang membuktikan, bahwa keberhasilan bukan hanya milik mereka yang lahir dari nasab atau modal besar, melainkan juga bagi mereka yang tekun meniti langkah dari nol.
Di kalangan KAHMI, nama Ichal, dikenal bukan hanya sebagai alumni HMI, tetapi juga sebagai contoh hidup dari makna “usaha yang tumbuh dari nasib dan kerja keras.” Ia bukan pewaris bisnis, bukan anak konglomerat, dan bukan juga pengusaha bermodal besar. Ia memulai segalanya dari tanah kosong, dari cangkul dan keyakinan bahwa keringat yang jujur tak pernah sia-sia.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat masih menjabat sebagai Ketua Umum PBB HIPMI pernah berkata, ada tiga model pengusaha: pengusaha by nasab, pengusaha nasib, dan pengusaha by design. Pengusaha by nasab mewarisi harta dan bisnis orang tuanya; pengusaha nasib meniti langkah dari nol, ditentukan oleh keteguhan dan takdir yang digenggam dengan kerja keras; serta pengusaha by design adalah pengusaha yang memang disiapkan melalui berbagai proses untuk menjadi pengusaha. Ichal termasuk yang kedua — pengusaha by nasib.
Usahanya berakar di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Daerah ini subur, tetapi menghadapi persoalan pasar yang tidak stabil. Di situ, Ichal memilih sektor hortikultura, bidang yang memerlukan ketekunan tinggi. Ia membina lebih dari 40 petani lokal, menanam sayuran dan buah-buahan seperti tomat, cabai, semangka, dan mentimun.
Hasil panen mereka tidak dijual ke tengkulak. Ichal menampung semuanya lewat perusahaannya, Kokoka Farm, lalu menyalurkan ke berbagai pasar di Palu dan beberapa provinsi seperti Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Dengan begitu, para petani tidak lagi terjebak pada harga rendah yang sering ditentukan sepihak oleh pembeli besar.
Namun perjalanan itu tidak selalu mudah. Pernah suatu waktu bersama temannya ia rugi besar ketika mitra dagangnya di luar pulau tak membayar hasil penjualan senilai 50 juta rupiah. Untuk ukuran usaha menengah, itu bukan angka kecil. Tapi Ichal memilih bertahan. Ia tahu, jalan pengusaha bukan jalan yang datar — kadang dipenuhi batu, tapi juga ditaburi peluang. “Kalau menyerah, habis sudah perjuangan,” katanya sambil tertawa kecil, seolah menyembunyikan kepahitan masa lalu.
Kini Ichal lebih fokus pada pasar lokal Palu, terutama Pasar Inpres Manonda dan Pasar Inpres Masomba. Permintaan meningkat pesat sejak pemerintah meluncurkan program MBG (Makan Bergizi Gratis). Program nasional ini menyediakan makanan bergizi bagi anak sekolah, pesantren, dan kelompok rentan. Dampaknya terasa langsung bagi pelaku pertanian dan pangan di daerah. Permintaan bahan segar seperti tomat, cabai, sayur, dan telur naik tajam.
“Sekarang usaha hortikultura sedang bagus,” ujar Ichal dengan mata berbinar. “Karena ada MBG, kebutuhan pasar tumbuh. Harga jadi stabil, petani lebih semangat.”
Program MBG memang menciptakan efek berantai ekonomi yang menarik: bukan hanya meningkatkan gizi masyarakat, tetapi juga memperkuat sektor produksi pangan lokal. Ichal termasuk yang paling cepat membaca peluang itu. Ia memastikan pasokan dari petaninya memenuhi standar kebersihan dan kualitas agar bisa masuk ke rantai pasok MBG.
Dukungan juga datang dari tokoh daerah yang peduli pada dunia usaha rakyat. Ichal mengenang ketika Bapak Muhidin M. Said, anggota DPR RI dari Sulawesi Tengah, membantu memfasilitasi bantuan mesin traktor dari Bank Indonesia. Alat ini mengubah cara kerja para petani binaannya. Sebelumnya lahan hanya mampu dipanen dua atau tiga kali setahun; dengan traktor, mereka bisa mencapai enam kali panen. Produktivitas naik dua kali lipat, dan keuntungan pun meningkat. “Traktor ini hadiah besar bagi kami,” ucapnya lirih.
Ichal bukan pengusaha yang hanya mencari untung. Ia percaya bisnis adalah sarana pengabdian. Ia sering turun langsung ke ladang, berbincang dengan petani, mendengar kesulitan mereka tentang pupuk, cuaca, dan harga. Ia mengajar mereka cara menanam yang efisien, memperkenalkan sistem tanam bergilir agar tanah tidak rusak, dan membantu mengakses permodalan mikro.
“Kalau petani maju, saya ikut maju. Kalau mereka rugi, saya juga rugi,” katanya sederhana. Prinsipnya jelas: keberhasilan ekonomi harus dibagi bersama.
Kini Kokoka Farm bukan sekadar nama perusahaan, tetapi simbol gerakan kecil dari bawah: bahwa dari kampung-kampung di Sigi, ekonomi bisa tumbuh asal ada orang yang mau bekerja dengan hati. Ichal mewakili generasi baru pengusaha KAHMI — mereka yang tidak sekadar mengejar laba, tapi juga menanam harapan.
Ichal membuktikan bahwa nasib bisa diubah oleh niat, kerja, dan ketulusan. Bahwa dari kebun cabai dan tomat di Sigi, bisa lahir kisah inspiratif tentang kemandirian, solidaritas, dan kebangkitan ekonomi lokal. (*)
Editor: Ruslan Sangadji

Tinggalkan Balasan