KABUT PAGI masih menggantung di atas perbukitan Bahodopi ketika suara ayam berkokok bersahutan dari kejauhan. Di Desa Lele, beberapa petani sudah lebih dulu turun ke ladang. Di antara deru traktor kecil dan aroma tanah basah, mereka bekerja dengan langkah mantap — seolah tahu, setiap cangkul yang diayunkan adalah investasi masa depan.

Dulu, lahan-lahan ini seperti tidur panjang. Hasilnya pas-pasan, cukup untuk bertahan hidup. Tapi sejak PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) hadir dengan program pemberdayaan pertanian pada 2022, semangat baru tumbuh di tanah ini. Tak hanya padi dan cabai yang ditanam, tapi juga keyakinan bahwa perubahan bisa dimulai dari lumpur di ujung kaki mereka.

“Tujuan kami sederhana saja—membantu petani agar mandiri dan sejahtera,” kata Tarya, PIC Program Departemen CSR IMIP, dengan nada tenang namun penuh makna.

IMIP memilih jalur pertanian sebagai jembatan antara industri dan masyarakat. Melalui tangan-tangan tim CSR, mereka menyiapkan program pendampingan di dua desa: Lele dan Makarti Jaya. Tiga kelompok tani — Suka Maju, Berkah Mombula, dan Pomponangi — menjadi pelaku utama. Lahan mereka tidak luas, masing-masing 13, 6, dan 9 hektare, tapi di situlah perubahan dimulai.

IMIP menyediakan segalanya: alat pertanian, pupuk, pestisida, dan pelatihan. Tapi yang paling berharga bukan bantuan fisiknya, melainkan pendampingan dari penanaman hingga panen. “Kami ingin para petani memahami ilmunya, bukan sekadar menerima hasilnya,” ucap Tarya.

Empat puluh petani kini belajar mengenali ritme tanah dan cuaca dengan cara baru. Mereka tak lagi menebak-nebak kapan waktu tanam yang tepat. Dengan pendekatan modern berbasis ilmu pengetahuan, hasil panen meningkat pesat. Kini, setiap hari mereka bisa menghasilkan hingga 125 kilogram produk pertanian segar.

Pendapatan pun ikut berubah. Kelompok Tani Suka Maju mencatat penghasilan sekitar Rp27 juta per bulan. Sementara Berkah Mombula — yang dulunya sering gagal panen — kini menembus Rp33 juta setiap bulan. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, tapi bukti bahwa keringat mereka berbuah nyata.

“Dulu kami tanam seadanya. Sekarang kami tahu kapan harus menanam, kapan memberi pupuk, dan bagaimana merawat tanaman. Hasilnya jauh lebih bagus,” tutur seorang petani sambil menepuk bahunya yang basah oleh embun pagi.

Kini, ladang-ladang di Bahodopi bukan hanya bentangan hijau di tengah kabupaten industri. Ia telah menjadi ruang hidup yang baru — tempat ilmu, kerja keras, dan harapan berkelindan. Setiap kali daun muda muncul dari tanah, ada kebanggaan kecil yang tumbuh bersamanya: bahwa di tengah deru mesin pabrik, kehidupan yang sederhana tetap menemukan jalannya.

Bahodopi kini tak hanya dikenal karena industrinya, tetapi juga karena tanah-tanahnya yang kembali subur. Karena di sana, para petani membuktikan satu hal: kesejahteraan bukan datang dari bantuan, tapi dari pendampingan yang menumbuhkan kemampuan untuk berdiri sendiri.

Di balik program ini, IMIP menegaskan komitmennya terhadap keberlanjutan. Bagi perusahaan, pembangunan industri dan penguatan sektor pertanian bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi dari satu tujuan besar — menciptakan harmoni antara kemajuan dan kehidupan.

Dengan memberdayakan petani di lingkar industri, IMIP menanamkan pesan bahwa kesejahteraan sejati tumbuh bukan hanya dari logam dan mesin, tetapi dari tanah yang terus memberi kehidupan.

Dan di antara suara jangkrik sore dan angin laut yang lembut, para petani Bahodopi tahu — tanah mereka kini tak hanya menumbuhkan tanaman, tetapi juga masa depan. (*)

Editor: Ruslan Sangadji