Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

DI BANYAK FORUM di berbagai tempat, Supratman Andi Agtas berbicara dengan nada yang sama: tegas, lantang, tanpa kompromi. Di balik kalimat-kalimatnya yang tegas dan bijak, tersimpan keyakinan sederhana tapi kuat, bahwa royalti musik dan/atau lagu adalah hak rakyat yang harus diterima secara adil dan proporsional.

Bagi Supratman, royalti bukan sekadar angka dalam laporan lembaga atau industri hiburan. Ia memaknainya sebagai wujud keadilan kultural, penghargaan kepada para pencipta, penyanyi, musisi, dan seluruh pihak yang menggantungkan hidup pada karya. Dalam pandangannya, keadilan dalam musik adalah bagian dari keadilan sosial.

Sebagai Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas menjalankan amanat besar dari Presiden Prabowo Subianto: hukum harus hadir untuk rakyat. Prabowo, kata Supratman, selalu mengingatkan, negara tidak boleh berpihak pada kekuatan modal, melainkan kepada mereka yang selama ini hanya berharap pada hasil jerih payah intelektual dan kreativitas. “Presiden berpesan, jangan biarkan hak rakyat dirampas oleh sistem,”.

Keyakinan itu menuntun Menteri Supratman untuk menata ulang sistem pengelolaan royalti musik dan lagu. Ia mendorong Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menjadi garda depan dalam tata kelola baru yang lebih transparan dan akuntabel. LMKN, yang berstatus sebagai lembaga bantuan pemerintah non-APBN, didorong untuk bekerja profesional dan mandiri dalam tata kelola royalti.

Namun Menteri Supratman sadar, kemandirian tanpa pengawasan adalah pintu bagi penyimpangan. Karena itu, LMKN tidak bekerja sendiri. Ia memastikan lembaga itu tetap berada dalam kontrol negara. Sejumlah pejabat dari Kementerian Hukum diangkat sebagai pengawas, agar sistem kerja LMKN tetap selaras dengan regulasi dan prinsip keadilan.

“Transparansi harus jadi ruh. Negara wajib hadir, tapi tidak boleh ikut bermain. Saya tidak akan menikmati satu rupiah pun dari royalti. Saya juga mengharamkan pejabat Kementerian Hukum menerima sepeser pun royalti, karena itu hak rakyat,” begitu tegas Menteri Supratman dalam pertemuan terbuka bersama para musisi nasional, Jumat, 31 Oktober 2025 lalu di Jakarta.

Langkah-langkah itu memunculkan gelombang reaksi. Dari pengguna musik komersial, promotor, hingga lembaga penyiaran besar, banyak yang merasa terusik oleh tata kelola baru yang menutup ruang abu-abu keuntungan. Kritik datang bertubi-tubi, bahkan tak jarang dibumbui tudingan politis. Tapi Supratman kukuh. Ia tahu siapa yang ia bela. “Kalau hukum tunduk pada tekanan pasar, maka keadilan akan mati di meja perundingan”.

Menteri Supratman memahami, perubahan besar selalu berisiko. Namun baginya, risiko terbesar justru jika negara terus membiarkan ketimpangan berjalan. Karena itu, ia tak segan bersuara keras di forum publik, pasang badan untuk LMKN ketika diserang, membela para pencipta dan pemilik hak terkait lagu dan/atau musik, yang hak royaltinya terabaikan, dan menegaskan bahwa sistem baru tata kelola royalti adalah untuk rakyat, bukan untuk segelintir pemilik kepentingan.

Di tengah derasnya kritik, Supratman terus melangkah. Ia memastikan pengumpulan dan distribusi royalti semakin efisien lewat sistem digital, memastikan setiap rupiah sampai ke tangan pencipta, penyanyi, dan musisi. Di situ ia membagikan kewenangan, LMKN mengumpulkan royalti dan LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) seperti RAI dan semacamnya, mendistribusikan kepada yang berhak.

Kini, perjuangannya mulai menunjukkan hasil. Perlahan, para pelaku industri mulai menyesuaikan diri. Para musisi mulai merasakan aliran royalti yang lebih teratur. Pengusaha pengguna musik dan/atau lagu ramai-ramai mulai mendaftar melalui inspirstion, sistem pengelolaan royalti satu pintu yang diluncurkan LMKN.

Dan di balik semua itu, sosok Supratman Andi Agtas berdiri teguh, bukan sekadar sebagai Menteri Hukum, tapi sebagai dirigen dari simfoni keadilan, memastikan harmoni antara negara, hukum, dan hak rakyat tetap terjaga. (*)

Wallahu a’lam