SUASANA HARU DAN KEBANGGAAN menyelimuti Gedung Rektorat Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) pada Rabu, 12 November 2025. Di ruangan itu, Prof. Dr. Laode Masihu Kamaluddin, M.Sc., M.Eng., menyampaikan Memori Akhir Jabatan Rektor, sebuah refleksi empat tahun setengah kepemimpinan yang menandai lahir dan tumbuhnya universitas digital pertama di Indonesia.

Bagi Prof. Laode, momen tersebut bukan sekadar akhir dari masa jabatan, melainkan titik kulminasi dari sebuah perjalanan transformasi. Sejak dirintis pada Juni 2020, UICI hadir dengan semangat reaching the unreachable (menjangkau mereka yang selama ini terhalang oleh batas ruang, waktu, dan kondisi sosial untuk mengakses pendidikan tinggi).

“UICI lahir dari cita-cita besar untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai gerakan perubahan, bukan sekadar institusi akademik,” ucap Prof. Laode dalam pidatonya yang disambut tepuk tangan para tamu undangan.

Ia mengingat masa-masa awal berdirinya UICI, ketika ide tentang universitas digital masih dianggap asing. Namun dengan tekad kuat, konsep itu berubah menjadi kenyataan. Model pembelajaran digital penuh yang diterapkan UICI, memungkinkan siapa pun belajar dari mana saja, kapan saja, tanpa kehilangan esensi akademik dan nilai kemanusiaan.

Menjangkau yang Tak Terjangkau

Hingga Oktober 2025, UICI telah memiliki 2.082 mahasiswa aktif yang tersebar di 33 provinsi dan 18 negara. Lebih dari 10.000 calon mahasiswa tercatat mendaftar selama sembilan gelombang penerimaan. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa visi UICI untuk membuka akses pendidikan tanpa batas benar-benar terwujud.

“Ketika UICI berdiri, kami membawa misi agar anak muda dari pelosok, bahkan dari luar negeri, bisa belajar dalam ekosistem yang setara dan modern,” kata Prof. Laode dengan nada penuh keyakinan.

Di bawah kepemimpinannya, UICI membangun tata kelola universitas digital dengan budaya kerja Work From Anywhere (WFA), sebuah pola kerja yang melahirkan kepercayaan, kolaborasi lintas generasi, dan profesionalisme baru.

“Rektorat bukan sekadar kantor, melainkan meeting point bagi kolaborasi lintas ruang dan generasi,” kata Prof Laode Kamaluddin.

Lompatan Akademik dan Riset

Kemajuan juga terlihat di bidang akademik. Melalui sistem Artificial Intelligence Digital Simulator Teaching and Learning System (AI-DSTLS), UICI menghadirkan pengalaman belajar yang adaptif, interaktif, dan personal. Sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang dikembangkan menghasilkan akreditasi program studi dengan predikat BAIK.

Tahun 2025 menjadi capaian penting: tiga tim peneliti UICI berhasil meraih hibah kompetitif nasional dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dengan total pendanaan Rp109,88 juta. Ini menjadi tonggak baru bagi penguatan riset dan pengembangan dosen muda di kampus digital tersebut.

Selain itu, kerja sama UICI berkembang pesat. Lebih dari 100 mitra nasional dan internasional telah bergabung, sementara 50 lebih perguruan tinggi menjadikan UICI sebagai rujukan benchmarking model universitas digital.

Kampus Muda, Adaptif, dan Tangguh

Kini, UICI memiliki 41 dosen dan 19 tenaga kependidikan aktif, dengan 75 persen di antaranya bergelar magister dan 20 persen tengah menempuh studi doktoral. Mayoritas berusia di bawah 40 tahun, mewujudkan semangat muda yang menjadi napas UICI.

“Kekuatan UICI ada pada SDM mudanya. Mereka bukan hanya cepat belajar, tapi juga cepat beradaptasi,” tutur Prof. Laode.

Ia menegaskan, selama kepemimpinannya, UICI menanamkan prinsip Good University Governance (tata Kelola perguruan tinggi yang baik) dengan sistem administrasi berbasis digital dan e-Office yang mendukung budaya kerja *aperless dan transparan. Struktur organisasi yang ramping dan fungsional menjadi cerminan efisiensi dalam dunia digital.

Menatap Masa Depan

Menutup masa jabatannya, Prof. Laode Kamaluddin Masihu menyampaikan rasa syukur dan harapan. Ia percaya, estafet kepemimpinan UICI akan terus melanjutkan semangat reaching the unreachable, menghubungkan ilmu, teknologi, dan kemanusiaan untuk masa depan pendidikan tinggi yang lebih inklusif, unggul, dan berkeadaban.

“Teknologi boleh mengubah cara kita belajar, tetapi nilai kemanusiaan harus tetap menjadi pusat dari setiap perubahan,” tuturnya.

Sebuah pesan yang sederhana, namun menjadi warisan berharga dari seorang rektor yang telah menuliskan bab penting dalam sejarah digitalisasi pendidikan Indonesia. (*)

(Ruslan Sangadji)