Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

DALAM SEBUAH percakapan santai di grup WhatsApp Roemah Balkot, Kombes Pol Sirajuddin Ramly melontarkan sebuah kalimat yang sudah lama menjadi rumus klasik dalam dunia kekuasaan: dalam politik, tidak ada kawan atau lawan yang abadi—yang abadi hanyalah kepentingan.

Sekilas terdengar sederhana, tetapi justru di situlah letak bobotnya. Politik berderak, berubah, mengikuti arah angin yang datang dari berbagai penjuru. Politik tidak pernah diam, dan ungkapan itu membuat saya tersenyum kecut sambil membayangkan wajah para politisi yang setiap hari kita lihat di panggung publik.

Hari ini seseorang bisa berdiri teguh sebagai pendukung, besok ia bisa saja berada di barisan seberang karena peta kepentingan bergeser dan strategi baru perlu disusun. Di ruang politik, perubahan bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.

Namun, polisi bergelar doktor itu mengingatkan satu hal penting: zaman telah berubah. Dulu, perubahan sikap politik hanya diketahui lingkaran terbatas. Kini, di era digital, setiap kata, janji, dan sikap tercatat rapi di jejak digital. Internet tidak pernah lupa.

Netizen selalu siap membandingkan pernyataan hari ini dengan ucapan bertahun-tahun lalu. Dari sana muncul pertanyaan panjang: apakah politisi konsisten, atau sekadar pandai berpindah posisi?

Padahal bagi politisi, perubahan sikap sering kali bukan soal inkonsistensi. Mereka justru menyesuaikan diri dengan konteks politik yang terus berderak. Apa yang benar kemarin bisa menjadi tidak relevan hari ini. Apa yang terlihat ideal dulu bisa jadi tak cocok lagi ketika peta kekuasaan berubah.

Tak heran jika Kombes Pol Sirajuddin Ramly mengutip kalimat lucu-lucu yang sering muncul di tengah masyarakat: politisi itu pagi bisa tempe, sore bisa tahu. Sederhana, tetapi tajam—menggambarkan betapa cepatnya perubahan dapat terjadi dan betapa lenturnya para aktor politik itu beradaptasi.

Fenomena ini menempatkan politisi dalam ruang dilematis. Mereka harus gesit membaca perubahan agar tetap relevan, tetapi publik menuntut konsistensi yang hampir mustahil dijaga di tengah dinamika politik yang keras dan tak terduga.

Setiap pergeseran dianggap pengkhianatan prinsip, padahal sering kali itu adalah strategi bertahan dalam sistem yang kompetitif dan penuh intrik.

Masyarakat pun perlu memahami bahwa politik tidak bekerja dalam pola hitam-putih. Banyak kepentingan saling bertabrakan, kompromi berlangsung tanpa sorotan kamera, dan negosiasi tidak selalu dapat diumumkan ke publik.

Keputusan yang tampak berubah-ubah sering kali lahir dari upaya menemukan titik keseimbangan antara idealisme dan realitas lapangan yang penuh tekanan.

Pada akhirnya, politik bukan sekadar tentang siapa mendukung siapa. Politik adalah tentang bagaimana kepentingan publik tetap diperjuangkan, meski jalannya tidak lurus dan sering kali berkelok-kelok.

Namun satu hal tak bisa dihindari: era digital telah melahirkan panggung transparansi tanpa dinding. Politisi kini tidak hanya diuji oleh lawan politiknya, tetapi juga oleh publik yang semakin cerdas, kritis, dan piawai menelusuri rekam jejak.

Kamera ponsel, tangkapan layar, dan arsip daring menjadi alat kontrol sosial yang tak bisa ditawar. Siapa pun yang melangkah dalam dunia politik harus siap menghadapi kenyataan bahwa setiap kata bisa diputar ulang, setiap janji akan dipertanyakan, dan setiap perubahan sikap akan selalu meninggalkan jejak. (*)

Wallahu A’lam