Oleh: Ruslan Sangadji / Kaidah.ID

Tahun 2000, adalah kali pertama saya berjumpa dengan Bapak Asgar Ali Djuhaepa. Waktu itu saya sedang meliput sebuah forum diskusi, suasananya hangat, penuh semangat reformasi. Di antara banyak peserta yang mayoritas aktivis ’98, ada seorang pria yang tampil sederhana, tetapi ketika ia mulai bicara, saya langsung merasakan kedalaman pikirannya. Dari situlah perkenalan kami dimulai.

Setelah mendapat referensi dari Aba Nungci H. Ali, saya pun mewawancarai beliau lebih jauh. Dari percakapan panjang hari itu, saya baru benar-benar tahu siapa Asgar Ali Djuhaepa. Tak banyak yang menyangka bahwa lelaki Kaili ini pernah melangkah sangat jauh, menembus dunia teknologi dan diplomasi industri yang pada masa itu tak mudah diraih putra daerah.

Asgar adalah Kepala Pemasaran PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), perusahaan yang saat itu berada di bawah kepemimpinan B.J. Habibie. Tak berhenti di situ, Habibie juga menunjuk Asgar sebagai Staf Khusus di BPPT.

Posisi itulah yang membuatnya nyaris selalu mendampingi Habibie dalam kunjungan luar negeri, bernegosiasi dengan berbagai negara, memperjuangkan kerja sama teknologi, termasuk urusan strategis yang melibatkan pesawat dan industri pertahanan.

Seperti halnya Habibie, Asgar fasih beberapa bahasa asing. Pergaulannya luas, akrab dengan para teknokrat dan lingkaran elite pemerintahan. Singkatnya, ia berada di posisi yang bagi banyak orang sudah menjadi puncak kenyamanan hidup: mapan, dihormati, dan berpengaruh.

Namun Asgar bukan tipe yang mudah lupa pada tanah kelahirannya. Setiap kali kami berbincang, Palu dan Sulteng selalu muncul di ujung ceritanya. Ia sering berkata bahwa hampir setiap hari ia memikirkan bagaimana daerahnya bisa maju. Jika ingin hidup nyaman, Jakarta sudah memberinya semua itu. Tapi nurani untuk pulang kampung, untuk mengabdi, rupanya jauh lebih kuat.

Keputusan besar itu akhirnya ia ambil: meninggalkan dunia yang sudah memberinya banyak, kembali ke Palu, dan memilih jalur politik sebagai cara untuk berbuat lebih bagi masyarakatnya.

Ia bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan kemudian terpilih menjadi anggota DPRD Sulawesi Tengah periode 2009–2014. Di kursi legislatif itulah ia mencoba membawa pengalaman dan jaringan yang pernah ia bangun di pusat, agar juga dirasakan manfaatnya oleh kampung halamannya.

Melihat jejak hidupnya, saya memahami bahwa Asgar adalah contoh putra daerah yang tidak hanya berhasil keluar dan menembus ruang-ruang strategis nasional, tetapi juga tahu kapan saatnya kembali untuk berbuat.

Pertemuan kami pada tahun 2000 itu bukan sekadar pertemuan jurnalis dan narasumber, tetapi kesempatan untuk mengenal seorang putra bangsa Kaili yang bekerja dalam diam, tanpa banyak sorotan, namun dengan langkah-langkah yang penuh arti.

Dan hari ini, 8 Desember 2025, kabar itu datang. Bapak Asgar Ali Djuhaepa berpulang di Rumah Sakit Anutapura Palu. Berita itu meninggalkan duka bagi siapa saja yang pernah bersentuhan dengan dedikasinya.

Namun jejaknya, dari Jakarta hingga Palu, dari IPTN hingga DPRD, akan tetap menjadi cerita tentang seorang putra Kaili yang berjalan jauh, lalu pulang untuk memberi.

Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. (*)