Realitasnya, rezeki yang kita dapatkan tak berbanding lurus dengan niat, usaha, dan doa kita. Ada yang lapang rezekinya dan ada pula yang sempit. Inilah sistem Sunatullah dalam hal pengaturan distribusi pembagian rezeki kepada mahkluk ciptaan-Nya

Kesadaran untuk menjadikan patron, imajinasi, dan sugesti, bahwa “rezeki elang tak akan tertukar dan dapat dimakan oleh musang” belumlah usai dialektika dan dinamikanya hingga kini. Buktinya, hingga kini, berbalahan dan rebutan lahan rezeki, masih saja terus terjadi antara kita sesama manusia.

Saya dan mungkin juga Anda, dalam setiap kelindan pikiran, masih saja mengalami rasa cemas dan takut, apabila kekurangan rezeki, utamanya menyangkut kebutuhan primer keluarga.

Paling tidak, dua tiga kali istri saya mengingatkan, apabila pembayaran sekolah dan kuliah buah hati kami tenggat waktunya sudah mendekat, dan uang belum tersedia. Ini contoh kasus yang sering kali saya alami.

Ketahanan dan kedaulatan keuangan rumah tangga yang belum tangguh dan kuat-kuat amat, seperti yang terjadi pada keluarga cemara kami, mengalami rasa cemas dan takut sepertinya suatu keniscayaan. Dugaan saya, mungkin saja pengalaman saya ini juga dialami oleh ratusan juta kepala keluarga di Indonesia. Bagaimana dengan Anda?

Dalam skala yang lebih besar, para pemangku kekuasaan, dalam hal ini negara juga menakuti akan situasi dan kondisi defisit keuangan negara. Apalagi dengan keadan krisis keuangan dan krisis ekonomi. Intinya sama saja, cemas dan takut akan kekurangan rezeki.

Apalagi dua tahun sejak badai pendemi virus corona terjadi di Indonesia. Sebagian besar kita pernah mengalami kelindan pikiran cemas dan takut akan kekurangan rezeki, apalagi kelaparan. Rasa ini manusiawi dan given dimiliki oleh setiap orang. Hanya saja, yang membedakan antara satu dengan yang lainnya, soal intensitas dan kadar rasa cemas dan takutnya saja. Ada yang besar, sedang, dan kecil.