WAKTU TIDAK MEMBERI ABA-ABA, namun terus berjalan mengikuti arus edarnya. Dan tanpa terasa, satu tahun telah dilalui Abcandra M. Akbar Supratman, tahun yang tak hanya dihitung lewat kalender, melainkan lewat perjumpaan, keputusan bersikap, dan tanggung jawab yang datang silih berganti.

Setahun lalu, langkah itu dimulai dengan keyakinan yang mungkin sederhana: menjalani peran dengan sejujur-jujurnya. Namun seperti setiap perjalanan, realitas tak pernah sesederhana niat.

Hari-hari Abcandra diisi dinamika, rapat yang panjang, diskusi yang menguras pikiran, kritik yang datang tanpa undangan, hingga harapan yang dititipkan oleh banyak orang. Semua itu menuntut satu hal yang sama: konsistensi.

Dalam satu tahun ini, Abcandra belajar bahwa bekerja bukan hanya soal hadir secara fisik, tetapi tentang kesediaan mendengar. Mendengar keluhan yang tak selalu disampaikan dengan bahasa halus. Mendengar kegelisahan yang sering tersembunyi di balik senyum. Dari situ, ia memahami bahwa tanggung jawab bukanlah gelar atau jabatan, melainkan amanah yang hidup dan bergerak bersama denyut masyarakat.

Ada hari-hari ketika hasil tak langsung terlihat. Program yang disusun rapi harus berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Keputusan yang diambil dengan niat baik tak selalu diterima dengan tepuk tangan. Namun justru di situlah refleksi menemukan maknanya. Setahun ini mengajarkan Abcandra bahwa proses jauh lebih jujur daripada pencitraan, dan ketekunan lebih penting daripada pujian sesaat.

Perjalanan ini juga mempertemukannya dengan banyak wajah dan cerita. Dari ruang formal hingga lorong-lorong kehidupan yang jarang disorot kamera. Dari mereka, Abcandra belajar merendahkan ego, menata ulang perspektif, dan menyadari bahwa kepemimpinan sejatinya adalah tentang melayani, bukan dilayani.

Di akhir tahun pertama ini, tak ada klaim kesempurnaan. Yang ada hanyalah kesadaran bahwa masih banyak yang perlu dibenahi, diperbaiki, dan diperjuangkan. Refleksi ini bukan titik akhir, melainkan jeda sejenak untuk menarik napas, menengok ke belakang, lalu melangkah kembali dengan arah yang lebih jernih.

Satu tahun perjalanan Abcandra M. Akbar Supratman adalah cerita tentang tumbuh, tentang keberanian menerima kritik, keteguhan menjaga nilai, dan kesabaran menunggu hasil. Dan seperti setiap perjalanan yang bermakna, langkah berikutnya justru terasa lebih penting daripada yang telah dilewati.

Karena bagi Abcandra, waktu bukan sekadar angka. Ia adalah pengingat, bahwa setiap hari adalah kesempatan untuk menjadi lebih bertanggung jawab, lebih manusiawi, dan lebih setia pada amanah yang telah dipilih.

BUKAN LAHIR DARI RUANG HAMPA

Abcandra bukan politisi yang lahir dari ruang hampa yang kosong. Ada latar aktivisme yang membentuk cara pandangnya, bahwa negara harus hadir, bukan berjarak. Naluri aktivis itu membuatnya gelisah ketika birokrasi terlalu lamban merespons persoalan rakyat. Dalam satu tahun ini, ia berulang kali berhadapan dengan kenyataan pahit: aspirasi daerah sering terhenti di meja administrasi, tersandera regulasi, atau hilang dalam labirin kewenangan.

Sebagai Anggota DPD RI, Abcandra membawa kegelisahan itu ke pusat. Ia menjadi pengingat bahwa daerah bukan pelengkap negara, melainkan fondasinya. Setiap kunjungan ke daerah mempertegas jurang antara kebijakan nasional dan realitas lapangan. Dari sana, ia menyadari bahwa perjuangan daerah bukan sekadar soal anggaran, melainkan soal keadilan struktural yang belum sepenuhnya berpihak.

Birokrasi, bagi Abcandra, adalah tantangan tersendiri. Ia bukan musuh, tetapi sering kali menjadi tembok. Setahun ini adalah proses berdialog dengan sistem, kadang bernegosiasi, kadang berbenturan. Ia belajar bahwa perubahan di negara ini jarang terjadi lewat lompatan besar, melainkan melalui dorongan kecil yang konsisten, meski kerap melelahkan.

Di balik semua peran formal itu, ada sisi personal yang jarang terlihat. Ada malam-malam sunyi setelah rapat panjang, ketika Abcandra bertanya pada dirinya sendiri: sejauh mana kekuasaan masih sejalan dengan idealisme?

Refleksi-refleksi inilah, yang menjaganya tetap waras di tengah godaan privilese dan rutinitas elit.

Setahun ini tidak menjadikannya merasa selesai. Justru sebaliknya, semakin dalam ia berada di dalam sistem, semakin sadar bahwa pekerjaan kebangsaan ini jauh dari kata rampung. Politik tanpa nurani akan melahirkan kebijakan kering. Aktivisme tanpa strategi akan mudah patah. Dan birokrasi tanpa empati akan menjauh dari rakyat.

Perjalanan satu tahun Abcandra M. Akbar Supratman adalah kisah tentang bertahan di tengah arus, tentang menjaga jarak yang sehat dengan kekuasaan, dan tentang keberanian tetap gelisah ketika banyak orang memilih nyaman.

Karena dalam keyakinannya, jabatan boleh sementara. Tetapi sikap, itulah yang kelak menentukan apakah seseorang hanya menjadi bagian dari sistem, atau menjadi suara yang memberi arah. (*)

(Ruslan Sangadji)