JAKARTA, KAIDAH.ID – Tiga organisasi pers Indonesia, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 40/1999 Tentang Pers, yang diajukan oleh Heintje Madagie dan sejumlah orang lainnya, karena legal standingnya tidak memenuhi syarat secara hukum.

“Kami meminta kepada Majelis Hakim MK agar tidak menerima judicial review tersebut,” tegas Hendrayana, salah seorang kuasa hukum tiga organisasi pers Indonesia saat membacakan permohonan selaku pihak terkait (AJI, IJTI dan AMSI) di hadapan Majelis Hakim MK terkait judicial review Undang-undang Pers dengan Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021, Selasa, 11 Januari 2021.

Judicial review yang diajukan Heintje Mandagie dan sejumlah orang lainnya itu, mempermasalahkan Pasal 15 ayat (2) huruf f, mengenai kewenangan Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers, dalam membentuk peraturan di bidang pers dan Pasal 15 ayat (5), terkait keanggotan Dewan Pers yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Hendrayana mengatakan, Pasal 15 ayat (2) huruf f, sebenarnya hanya memberikan kewenangan kepada Dewan Pers, untuk memfasilitasi organisasi–organisasi pers menyusun peraturan di bidang pers.

“Tidak ada sama sekali ruang dan kesempatan Dewan Pers untuk memonopoli. Sebagai fasilitator, Dewan Pers diwajibkan memastikan adanya ikut serta dari organisasi pers dalam pembentukan peraturan di bidang pers,” kata Hendrayana.

Menurutnya, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari memfasilitasi adalah memberikan fasilitas. Selanjutya dalam sumber yang sama, fasilitas artinyasarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi, kemudahan.

“Artinya, pada konteks fungsi Dewan Pers untuk menyusun peraturan pada bidang pers, khususnya pada Pasal 15 ayat (2) huruf f, adalah menjadi pihak yang memberikan sarana untuk melancarkan fungsi dan kemudahan kepada organisasi pers, untuk berkontribusi dan mengambil bagian dalam menyusun peraturan di bidang pers,” jelasnya.

Kuasa hukum lainnya dari tiga organisasi pers indonesia, Ade Wahyudin menjelaskan, sebagai fasilitator, jika terdapat penyusunan peraturan di bidang pers tanpa mengikutsertakan organisasi pers, barulah dapat dianggap bertentangan dengan fungsi dalam UU Pers tersebut.

“Seandainya itu terjadi, permasalahan berada di tataran implementasi, bukan pada tataran normatif dengan memintakan Dewan Pers menghilangkan sebagian fungsinya sebagai fasilitator organisasi pers yang menyusun peraturan di bidang pers,” ucap Ade Wahyudi.

Dia menambahkan, mencermati posita para Pemohon mengenai memfasilitasi, adalah menginginkan penyusunan peraturan-peraturan bidang pers dilakukan oleh masing-masing organisasi pers, bukan dalam bentuk peraturan Dewan Pers.

“Keinginan itu justru dikhawatirkan membuat peraturan-peraturan bidang pers dapat menjadi tidak kohesif, terpisah sendiri-sendiri sesuai selera dan kepentingan organisasi-organisasi pers, bahkan berpotensi bertentangan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya,” ujarnya.

Jika itu yang terjadi, kata Ade Wahyudin, justru berpotensi munculnya kode etik jurnalistik yang tidak baku dan beragam penafsiran sesuai versi masing-masing organisasi pers.

“Dan itu dikhawatirkan melahirkan kebingungan massal pada insan pers Indonesia dan mengganggu kebebasan serta profesionalitas pers,” tandasnya. (*)