Untuk menjadi penentu masa depan itu, marilah ke Sulteng, karena Sulteng adalah episentrum dalam permainan global pada sektor energi masa depan.

Penulis: Salihuddin, MW KAHMI Sulteng, Ketua Umum HMI Cabang Palu 2001-2002

Ketika nama Palu-Sulawesi Tengah muncul menjadi kandidat kuat tuan rumah Munas XI KAHMI, maka seketika orang merasa kaget. Berani benar Palu – Sulteng mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Mungkin hanya sekadar ikutan saja? Padahal Kota Makassar pun yang jauh lebih maju dari segala hal dibanding Palu, hingga saat ini belum pernah menjadi tuan rumah Munas KAHMI. Kalau tuan rumah Kongres HMI, Makassar sudah pernah dua kali.

Media massa dan jagad medsos HMI-KAHMI dalam satu bulan terakhir ini begitu heboh dengan percakapan, siapa yang pantas dan paling siap menjadi tuan rumah Munas XI KAHMI. Masing-masing kandidat memunculkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk Pemda, Ormas dan tokoh-tokoh nasional. Jarang sekali Palu – Sulteng menemukan momentum yang sangat positif seperti ini.

Lalu, dari perspektif manakah Palu atau Sulawesi Tengah memiliki daya tarik bagi hampir semua orang? Pertanyaan ini menarik bagi saya untuk memulai gagasan Palu sebagai tempat Munas XI KAHMI.

Ditinjau dari perspektif ekonomi, kota ini belum menjadi pusat pertumbuhan perekonomian skala besar di wilayah Sulawesi. Dari aspek politik, juga belum banyak melahirkan tokoh-tokoh politik yang dikenal luas secara nasional. Demikian juga secara kebudayaan. Palu sebagai kota budaya belum setenar Jogya di Jawa atau tetangganya Makassar.

Justru yang menarik bagi Palu dan Sulawesi Tengah adalah, pertama; konflik sosial yang terjadi di Poso mulai tahun 1999 – 2002. Kajian tentang konflik di Sulawesi Tengah ini, banyak menghiasi jurnal-jurnal dan beberapa buku.

Di manapun, setiap konflik melahirkan residu. Residu itu masih terasa hingga sekarang. Walaupun secara fisik sudah nyaris tanpa bekas tapi ini masih menyisakan trauma yang mendalam di bawah alam sadar masyarakat Sulawesi Tengah. Contohnya, orang beli tanah atau berinvestasi pada daerah bekas konflik masih menjadi pertimbangan serius. Hal ini karena efek psikologis trauma yang menimbulkan perasaan ragu dan takut akibat konflik masa lalu.

Karena itu perlu detraumatisasi. Korbannya tidak mengenal agama, suku, usia, golongan karena semua yang terlibat konflik menderita secara kemanusiaan. Peran tokoh KAHMI, tokoh perdamaian dunia yang juga Wapres RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla dalam perdamaian Poso sangat vital dan menjadi catatan sejarah yang tak terlupakan.

Kedua; trio bencana alam (gempa, tsunami, likuefaksi) yang terjadi pada 28 September 2018 silam, masih sangat membekas baik secara fisik maupun secara psikologis. Gempa bumi, tsunami dan likuefaksi benar-benar membawa Palu dan Sulawesi Tengah berada di titik paling rendah.

Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah sebelum konflik termasuk cukup tinggi yakni tahun 1996 mencapai 9,98 persen dan tahun tahun 2017 tumbuh 7,14 persen. Pasca bencana, triwulan IV tahun 2018 pertumbuhan ekonomi turun drastis hanya mencapai 5,28 persen.

Kemudian secara perlahan tapi pasti mulai bangkit sejak tahun 2019 mulai pulih dengan tumbuh sebesar 9, 59 persen pada triwulan IV (Y-on -Y) . Kemudian karena diterjang pandemi Covid, ekonomi Sulteng pada triwulan III 2020 hanya tumbuh 2,82% (yoy), meningkat dibandingkan triwulan II 2020 yang drop hingga level minus 0,06% (yoy).

Pada saat provinsi lain masih keteteran, secara meyakinkan ekonomi Sulteng terus tumbuh impresif. Faktor pendorongnya tidak lain adalah pertumbuhan pada sektor industri industri pengolahan (smelter), pertambangan, pertanian dan relatif membaiknya perkembangan sektor lainnya.

Ekonomi Sulawesi Tengah triwulan III-2021 terhadap triwulan III-2020 mengalami pertumbuhan fantastis sebesar 10,21 persen (y-on-y).

Bencana alam yang terjadi di Kota Palu pada September 2018 lalu sangat berdampak pada segi ekonomi, terutama di bagian kerugian dan kerusakan. Dampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkan gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu mencapai Rp18,48 Triliun, kerugian tersebut berasal dari dari sektor permukiman mencapai Rp9,41 triliun, sektor infrastruktur Rp1,05 triliun, sektor ekonomi Rp4,22 triliun, sektor sosial Rp3,37 triliun, dan lintas sektor mencapai Rp0,44 triliun (Sumber : BNPB Kota Palu).

Secara rinci pada sebaran wilayah, kerugian dan kerusakan di Kota Palu mencapai Rp 8,3 triliun, Kabupaten Sigi Rp 6,9 triliun, Donggala Rp 2,7 triliun dan Parigi Moutong mencapai Rp 640 miliar (Sumber: BNPB Provinsi Sulawesi Tengah).

Kerugian yang sangat besar itu menimbulkan bencana lanjutan, misalnya di sektor permukiman, wilayah yang disapu tsunami sepanjang Pantai Talise sampai Kecamatan Tawaeli dan pesisir Donggala, permukiman warga hampir semuanya hilang dan rusak.

Tidak heran kerugian pada sektor ekonomi sangat besar terutama yang mengalami kontraksi seperti jasa keuangan dan asuransi sebesar minus 8,39 persen, akomodasi dan makan minum kontraksi sebesar minus 4,65 persen dan dan sektor pengadaan listrik dan gas sebesar minus 3,47 persen.

Kerugian yang paling besar tentu saja korban manusia. Data resmi Pemerintah daerah, jumlah korban meninggal mencapai 4.340 jiwa. Selain itu masih ada 600 lebih korban yang belum ditemukan.

Pasca bencana masih menyisakan masalah yang besar terutama pembangunan kembali permukiman warga. Meskipun sampai saat ini sudah ribuan hunian tetap yang terbangun tapi sampai september 2021 masih ada 3.240 hunian tetap yang menjadi hak penyintas belum dipenuhi.

Wapres Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin dalam kunjungannya baru-baru ini ke Sulawesi Tengah memerintahkan agar pembangunan hunian tetap dan permukiman warga harus dipercepat. Inilah penderitaan warga Sulawesi Tengah pasca bencana.

Selain itu fasilitas kota belum semua berhasil direhabilitasi. Hotel-hotel, jembatan Kuning yang menjadi icon kota, fasilitas pusat peribadatan seperti Mesjid Agung belum bisa dibangun kembali. Jalan-jalan di Kota Palu belum seluruhnya dapat diperbaiki. Inilah kehancuran secara fisik dan psikis yang perlu perhatian pemerintah dan kita sebagai warga bangsa.

Secara psikologis juga masih trauma. Sebelum gempa berkekuatan Magnitudo 7,4 itu, jika terjadi gempa, paling ketawa saja. Tidak ada rasa ketakutan. Masyarakat Palu memang sudah terbiasa merasakan gempa karena dilalui sesar (patahan) besar “Palu-Koro” yang melalui pusat Kota Palu sampai ke Utara Sulawesi.

Setelah gempa besar September 2018 itu, ketika digoyang gempa sedikit saja, pasti lari kocar kacir. Akibatnya, banyak penduduk Palu meninggalkan daerah ini kembali ke daerah asalnya. Tidak mau lagi ke Palu karena trauma.

Residu dari dua masalah ini sangat besar bagi Palu dan Sulawesi Tengah. Konflik Poso menyisakan terorisme dan trio bencana 28 September 2018 menghasilkan keterpurukan dan penderitaan terutama terkait kesejahteraan.

Di samping itu, adanya beberapa kali pengerahan pasukan keamanan skala besar untuk menumpas kelompok teroris yang berlindung di hutan lebat di wilayah Poso belum sepenuhnya berhasil sampai hari ini. Disinyalir masih ada beberapa orang teroris belum ditangkap sehingga masih menjadi ancaman bagi warga.

Dari Bencana Menuju Kebangkitan