MAKASSAR KAIDAH.ID – Ahli Dewan Pers, Imam Wahyudi, menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa pers atau keberatan atas penerbitan berita oleh media massa atau karya jurnalistik, berada pada etika profesi.
“Maka apabila berkaitan dengan delik pers, penyelesaiannya di Dewan Pers terlebih dahulu, untuk mendapat penilaian apakah berita dimaksud melanggar kode etik atau tidak,” jelas Imam Wahyudi saat memberikan keterangan ahli di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 28 Juli 2022.
Imam Wahyudi memberikan keterangan ahli Dewan Pers, dalam kasus gugatan perdata terhadap enam media di Makassar, Sulawesi Selatan.
Enam media di Makassar tersebut, yakni Antara News, MakassarToday, KabarMakassar, LPP RRI Makassar, TerkiniNews dan CelebesNews digugat perdata di PN Makassar dengan Nomor Perkara: 1/Pdt G/2022/PN Mks tertanggal 5 Januari 2022.
Gugatan tersebut dilayangkan pihak penggugat lima tahun setelah berita dilansir enam media tersebut. Penguggat menilai pemberitaan enam media telah menimbulkan kerugian materi hingga mencapai Rp100 triliun.
Namun, selama proses persidangan, hanya empat media tergugat yang hadir. Dua media lainnya, yakni TerkiniNews dan CelebesNews tidak menggunakan haknya di pengadilan.
Menurut Imam Wahyudi, alasan mengutamakan penyelesaian sengketa pers di Dewan Pers sebelum masuk ke proses peradilan, karena dasar Undang-Undang Pers yang digunakan adalah lintas rezim.
“Seperti yang dijelaskan Prof. Bagir Manan dalam bukunya bahwa Undang-undang Pers itu adalah lintas rezim, jadi ada pidana, perdata hukum acara dan seterusnya. Oleh karena itu, mestinya mendahulukan mekanisme di Dewan Pers,” jelas Imam.
Selanjutnya Dewan Pers akan melakukan verifikasi apakah ada kekeliruan, melanggar kode etik atau tidak.
“Nanti Dewan Pers akan menilai dengan menggelar sidang pleno dan menganalisisnya. Setelah itu baru mengeluarkan rekomendasi, apakah terindikasi melanggar hukum atau tidak. Namun soal gugatan langsung ke PN itu adalah hak warga negara. Tetapi, dampaknya akan panjang, serta tentu merampas hak-hak kemerdekaan Pers,” sambung Imam.
Meski begitu, Imam menegaskan seluruh jenis pemberitaan oleh media massa wajib terverifikasi guna memenuhi asas perimbangan, kecuali berita yang berasal dari sumber yang kredibel dalam bidangnya.
“Misalnya keterangan dari pihak kepolisian, kejaksaan dan sebagainya, karena sumbernya itu dianggap kredibel, maka berita itu bisa ditayangkan. Tapi bila ada yang keberatan atas berita tersebut, maka Pers wajib memberikan fasilitas hak jawab dan hak koreksi,” terangnya.
Sementara berita konferensi pers yang berkaitan dengan kepentingan umum dapat dikecualikan, sepanjang sumber lain yang terkait dengan tersebut tidak dapat dihubungi atau sengaja menghindar dari upaya konfirmasi media.
Majelis Hakim dalam sidang juga meminta keterangan Ahli perihal mekanisme hak jawab seperti yang tercantum adalam dalam ayat (2) dan (3) Undang-undang 40 tahun 1999 tentang Pers bahwa Pers wajib melayani hak jawab dan Pers wajib melayani hak koreksi
“Jadi hak jawab yang dimaksud itu diberikan setelah berita itu sudah tayang. Berita dinilai merugikan atau terdapat kekeliruan di dalamnya. Tapi Hak Jawab itu bersifat pasif, artinya pihak yang merasa dirugikan yang harus meminta hak jawab itu ke Pers,” terang Imam di depan Majelis Hakim.
Mendengar keterangan tersebut, Majelis Hakim pun menyatakan cukup dan mengakhiri pertanyaannya dan mengakhiri sidang tersebut. Majelis Hakim kemudian mengagendakan sidang selanjutnya pada Kamis, 4 Agustus 2022, pekan depan. (*)
Tinggalkan Balasan