Oleh Fransiscus Manurung


“Sanksi bagi pelanggaran Pemilu harus bertumpu pada landasan juridis
yang akurat, jelas dan konsisten. Jika tidak, akan muncul banyak ketidakpatuhan yang akan menghasilkan lebih banyak konflik”


Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 masih jauh. Lebih kurang 14 bulan lagi. Calon presiden belum ada, begitu pula calon wakil presiden. Dari sembilan partai politik peserta Pilpres, baru Partai Nasional Demokrasi (NASDEM) yang secara terbuka mendeklarasikan figur bakal calon presiden, yaitu Anies Rasyid Baswedan. Sedangkan delapan partai politik lainnya masih dalam posisi wait and see.

Pasca deklarasi Partai Nasdem, suhu politik mulai memanas dan bahkan pada pertengahan Desember 2024, eskalasinya semakin memanas seiring dengan pergerakan mesin politik Nasdem yang mempromosikan Anies Baswedan di berbagai kota di Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Panasnya suhu politik ditandai dengan munculnya laporan dari seorang warga berinisial MT ke Bawaslu, yang kemudian disikapi Bawaslu dengan menuding Anies Baswedan melakukan aktivitas kampanye terselubung yang terkesan curi start kampanye. (Tempo.co, 17 Desember 2022).

Yang menjadi pertanyaan hukum adalah, apakah aktivitas Anies Baswedan melakukan safari politik tersebut merupakan pelanggaran hukum Pemilu dan/atau perbuatan yang dilarang oleh UU Pemilu?

Setidaknya, ada empat pendekatan yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan hukum tersebut, yaitu:

Pertama; sistem pemilihan umum di Indonesia didasarkan pada UUD 1945 sebagai landasan utama, dan undang-undang lainnya yang terus menerus diperbaharui, terakhir Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang secara resmi disahkan pada tanggal 15 Agustus 2017 dan berlaku hingga saat ini.

Kedua; UU Pemilu tersebut – sebagaimana lazimnya undang-undang menurut ilmu hukum – berisi norma hukum yang mengatur secara konkret hal-hal (i) yang wajib dilakukan (obligattere) ; (ii) yang dilarang dilakukan (prohibere) ; dan (iii) yang boleh dilakukan (permittere).

Ketiga; jenis pelanggaran terhadap norma dan sengketa Pemilu terdiri dari, yaitu (i) Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang merupakan pelanggaran etika berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara; (ii) Pelanggaran Administrastif Pemilu yang meliputi pelanggaran tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Pemilu; (iii) Pelanggaran Tndak Pidana Pemilu yang merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 554 UU Pemilu; (iv) Sengketa Proses Pemilu, yaitu sengketa yang terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU; (v) Sengketa Tata Usaha Negara, yaitu pengajuan gugatan atas sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pemilu setelah upaya administratif digunakan; (vi) Sengketa Perselisihan Hasil Pemilu dengan mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi.

Keempat; Peserta Pemilu adalah Partai Politik untuk pemilihan anggota DPR/D, Perseorangan untuk pemilihan anggota DPD, dan Pasangan Calon yang diusulkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik untuk pemilihan presiden/wakil presiden.

Kelima; dari pengertian Peserta Pemilu Pemilihan Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, maka dapat dipastikan bahwa Anies Baswedan bukanlah peserta pemilu, melainkan seorang warga negara Indonesia yang mempunyai hak untuk dipilih menjadi seorang presiden.

Tentu, safari politik yang dilakukan merupakan konsekwensi logis dari eksistensi atas Hak untuk dipilih tersebut.

Artinya, aktivitas safari politik yang dilakukan oleh Anies Baswedan – yang notabene bukan peserta pemilu pemilihan presiden – belum berkorelasi dengan norma-norma UU Pemilu, baik terhadap norma yang wajib dilakukan, yang dilarang dilakukan maupun yang boleh dilakukan.

Paling tidak, safari politik itu bukanlah perbuatan yang dilarang dan/atau pun perbuatan yang melanggar ketentuan pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 488 sampai dengan Pasal 544 UU Pemilu.

Kalau begitu, kenapa harus dilarang?
Lalu, apa landasan juridisnya?. (*)