MOROWALI, KAIDAH.ID – Komisi VII DPR RI mendesak Kementerian Perindustrian membangun industri manufaktur turunan dari nikel di Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Industri manufaktur menjadi penting, karena dapat menggerakkan roda perekonomian nasional.

Desakan membangun industri manufaktur itu, menjadi salah satu poin kesimpulan dalam pertemuan terbatas, antara DPR RI, Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM dan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang berlangsung Kamis, 6 Juli 2023 hingga Jumat, 7 Juli 2023 dini hari.

Anggota Komisi VII DPR, Nasril Bahar mengatakan, hadirnya investasi besar di Sulteng ini, memberikan peluang yang sangat besar bagi kemandirian ekonomi untuk daerah ini. Tidak lagi harus mengekspor dalam bentuk bahan mentah, tapi sudah dalam bentuk jadi.

“Kita bisa katakan, meningkatnya pendapatan daerah Sulteng, apakah karena hadirnya kawasan industri ini? Apalagi serapan tenaga kerja di kawasan ini besar sekali. Ini perlu menjadi perhatian kita semua. Jangan sampai yang terjadi justru industri manufakturnya di Pulau Jawa, tapi raw materialnya dari Sulteng,” ucap legislator asal PAN itu.

Di tempat yang sama, Adian Napitupulu mengatakan, langkah awal yang pemerintah dapat lakukan, adalah mendorong para pelaku usaha untuk membangun industri UMKM di sekitar kawasan industri. Sebelum menciptakan iklim industrialisasi di kawasan industri tersebut.

“Gunanya untuk menyerap bahan baku dari Kawasan Industri IMIP ini. Bagaimana pemerintah melihat itu untuk kemudian mendorong para pelaku usaha kita dalam melihat peluang ekonomi yang sangat besar ini. Harapan kita semua, mungkin setahun ke depan, pemerintah juga sudah harus memikirkan bagaimana mendorong industrialisasi di kawasan ini,” kata Adian.

Sementara, Ditjen Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian RI, Heru Kustanto mengatakan, dari 41 total kawasan yang menjadi rencana strategis dari pemerintah, 17 di antaranya telah beroperasi. Sisanya. dalam tahap perencanaan dan pembangunan.

Dari 17 kawasan itu, Kawasan Industri IMIP adalah kawasan yang paling maju dan terpadat. Sehingga, kata dia, sudah harus memerhatikan aspek lingkungan.

“Kita belum dapat memastikan bahwa di kawasan ini akan terbentuk sebuah industrialisasi untuk menyerap bahan setengah jadi yang dihasilkan. Hanya saja, pemerintah terus mendorong proyek-proyek strategis nasional untuk berkembang,” kata dia.

Saat ini, di Kawasan Industri IMIP telah terbentuk tiga klaster industri. Klaster yang pertama adalah stainless steel. Klaster ini mengolah bijih nikel menjadi produk Nickel Pig Iron (NPI) sampai stainless steel. Terdapat 44 lines tungku NPI. Kapasitas produksi stainless steel lebih dari 3 juta metrik ton (MT) per tahun, kemudian kapasitas produksi Hot Rolled Coil (HRC) 3 juta ton per tahun dan Cold Rolled Coil 0,5 juta ton per tahun.

Selanjutnya, klaster kedua adalah carbon steel. Klaster ini memproduksi carbon steel dengan kapasitas produksi lebih dari 3,5 juta ton per tahun, dengan total investasi senilai US$ 1,1 miliar. Harapan pemerintah, kehadiran klaster kedua ini dapat menunjang kebutuhan baja di dalam negeri.

Sedangkan klaster ketiga, adalah klaster komponen baterai. Klaster ini memproduksi katoda baterai kendaraan listrik. Pada Klaster ini, terdapat 4 perusahaan yang memproduksi bahan baku baterai, di antaranya PT Huayue Nickel Cobalt, PT QMB New Energy Materials, PT Fajar Metal Industry, dan PT Teluk Metal Industry.

Total kapasitas produksi katoda baterai EV (electric vehicle) dari ke empat pabrik itu, mencapai 240.000 metrik ton per tahun nikel kobalt dan nikel sulfida.

Dari empat pabrik itu, dua di antaranya telah beroperasi, yakni PT Huayue Nickel Cobalt, dengan kapasitas produksi 70.000 ton per tahun (Ni-Co), dan PT QMB New Energy Materials kapasitas produksi sebesar 50.000 ton per tahun (Ni Sulfide & Ni-Co).

Selain itu, masih ada dua smelter nikel lagi untuk baterai yang sedang dalam tahap pembangunan, yaitu PT Fajar Metal Industry dan PT Teluk Metal Industry, dengan kapasitas produksi masing-masing 60.000 ton per tahun.

Empat smelter ini akan memproduksi prekursor katoda baterai, yang pasokannya nanti untuk perusahaan produsen sel baterai. Saat ini, belum ada ekspor hasil produksinya, karena belum ada perusahaan sel baterai di Indonesia yang beroperasi. (*)