“Paling tidak, Gubernur mewaspadai potensi dispute, apalagi, jika benar Gubernur tidak ikut hadir dalam RUPS, karena tidak diundang secara patut menurut ketentuan yang diatur dalam UU PT jo AD Perseroan,” jelas Lawyer senior itu.

Frans memaparkan, Gubernur tidak menandatangani dokumen hasil RUPS PT BPST, mesti ditafsirkan tidak untuk membatalkan hasil RUPS, tetapi solusi untuk membenahi PT. BPST agar sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukannya sebagai BUPP KEK Palu.

“Itu sebabnya, permintaan RUPS tersebut disertai pencantuman mata acara rapat. Bisa jadi, Gubernur menginginkan misalnya Peningkatan modal dasar dari Rp1 miliar menjadi Rp25 miliar, serta perubahan struktur modal disetor dan modal ditempatkan. Quorumnya menggunakan pola 2/3, bukan 1/2 + 1,” sebutnya.

Selain itu, kata dia, RUPS LB adalah forum demokratis para pemegang saham bersama Direksi dan Dewan Komisaris untuk membicarakan, membahas dan memutuskan segala hal ikhwal dalam perseroan, termasuk dan tak terkecuali hasil RUPS yang lalu, bila dianggap perlu.

Frans berkata, mengingat PT. BPST adalah perseroan milik rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang ditugasi untuk menyelenggarakan KEK, dengan tujuan untuk kesejahteraan rakyat Sulteng.

Maka tentunya, Frans berharap, pengambilan keputusan dalam RUPSLB tidaklah mengandalkan one share, one vote untuk menang-menangan, melainkan berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengutamakan kepentingan rakyat Sulteng.

“Besar harapan kepada Gubernur Sulteng, baik dalam kedudukannya sebagai pemegang saham maupun dalam kedudukan sebagai Ketua Dewan Kawasan yang bertanggungjawab kepada Dewan Nasional KEK, dapat membenahi PT. BPST lewat RUPSLB sehingga KEK mampu jadi penggerak ekonomi di Sulteng,” harapnya.