Oleh: Ruslan Sangadji

SEBELUM MELANJUTKAN CATATAN INI, yang saya beri judul Pergolakan Politik di Sulawesi Tengah: Kisah peralihan Kekuasaan 1964-1981, izinkan saya terlebih dahulu berbagi tentang awal mula artikel ini ditulis. Pada suatu pagi di tahun 2004, saya dipanggil oleh guru saya, H. Nungci H. Ali, atau yang akrab kami sapa Aba Onci.

Mendiang Aba Onci ketika itu meminta saya, agar menulis tentang sejarah pergolakan politik di Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah, sebuah wilayah yang saat itu belum dikenal dengan istilah Pemerintah Provinsi (Pemprov).

Dengan nada tegas, Aba Onci berpesan: “Papua” — begitulah beliau sering memanggilku, kadang pula memanggilku “Asu” — “Kau tulis semua hasil wawancara, jangan ditutupi. Ini adalah sejarah yang harus dibuka ke publik, agar kelak anak cucu kita tidak lupa pada sejarah mereka”.

Aba Onci ingin, tulisan ini nantinya diterbitkan menjadi buku sebagai catatan penting, bahwa dalam setiap masa transisi atau peralihan kekuasaan, konflik politik atau pergolakan selalu hadir. Begitu pula yang terjadi di Sulawesi Tengah. Pada tahun-tahun awal terbentuknya daerah ini sebagai entitas otonom, pergolakan di kalangan birokrasi sangat nyata.

Dari situlah, saya mulai berburu narasumber, sebut saja Aminuddin Ponulele, Mohammad Thayeb Abdullah, Theo Tumakaka (sekarang semuanya sudah wafat – Allah merahmati beliau semua), dan beberapa yang lain, untuk menggali sejarah, dan menyusun kisah-kisah itu hingga adanya tulisan ini.

Agar catatan ini tak hilang, pada 15 Juli 2006, saya memutuskan untuk mempublikasikan bagian dari tulisan ini di blog saya, Jejak Sepanjang Jalan. Tujuannya sederhana, agar nanti setelah seluruh data terkumpul, mudah bagi saya untuk menyusunnya menjadi sebuah buku.

Namun, takdir berkehendak lain. Sebelum semua data lengkap terkumpul, pada tahun 2010, Aba Onci dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Allahummagfirlahu warhamhu wa’fihi wa’fu ‘anhu. Dengan kepergian Sang Guru, impian kami menerbitkan buku ini ikut terhenti. Oleh karena itu, untuk mengenang Aba Onci, kini saya menerbitkan kembali catatan ini di kaidah.ID, dengan harapan agar sejarah tak dilupakan.

Namun sebelum berlanjut, izinkan saya memberi disclaimer penting: tulisan ini tidak bermaksud membuka luka lama atau menyinggung isu SARA, melainkan semata-mata sebagai pengingat akan sejarah penting di masa awal terbentuknya Sulawesi Tengah sebagai provinsi otonom.

PERGOLAKAN TAK BERDARAH

Pergolakan yang terjadi di Sulawesi Tengah, bukanlah pergolakan fisik yang berujung kekerasan berdarah-darah, melainkan lebih kepada pergolakan politik di balik layar, untuk memperebutkan kekuasaan pemerintahan.

Salah satu peristiwa yang paling membekas dalam ingatan para pelaku sejarah, adalah masa peralihan kekuasaan dari Gubernur Kolonel Mohammad Jasin ke Brigadir Jenderal Albertus Maruli Tambunan, atau yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Sulawesi Tengah dengan nama A.M. Tambunan.

Kolonel Mohammad Jasin menjadi Gubernur Sulawesi Tengah yang kedua pada periode 1968-1973, menggantikan Anwar Gelar Datuk Madjo Basa Nan Kuning (1964-1968). Namun, di tengah peralihan itu, muncul pergolakan dari kalangan pemuda cerdas Sulawesi Tengah.

Mereka merasa dikhianati, karena Kolonel Mohammad Jasin yang semula berjanji akan mengangkat tokoh-tokoh lokal, justru “tenggelam” saat Brigadir Jenderal A.M. Tambunan mengambil alih tampuk kekuasaan atas perintah Jakarta.

Theo Tumakaka (alm.), seorang tokoh pada masa itu, menuturkan, ada istilah yang berkembang di masyarakat, yakni “batang yang terendam.” Istilah ini merujuk pada kenyataan bahwa meski Sulawesi Tengah memiliki banyak putra daerah yang cerdas, mereka sengaja tidak diberi kesempatan untuk menonjol.

Inilah yang memicu “genderang perang” terhadap Brigjen A.M. Tambunan. Tokoh-tokoh seperti Lukman Makmur, Rusdy Toana, dan beberapa tokoh Alkhairaat, termasuk Saiyid Muhammad bin Idrus Aljufri, berjuang keras mempertahankan Kolonel Mohammad Jasin. Mereka menolak A.M. Tambunan sebagai Gubernur Sulawesi Tengah.

Keyakinan para tokoh ini sederhana: Kolonel Mohammad Jasin diyakini mampu mengangkat derajat putra-putra daerah yang cerdas dan berpotensi, sementara A.M. Tambunan dianggap akan terus menekan mereka.

Selain isu “batang terendam,” cerita Theo Tumakaka, ada juga isu lain yang memanaskan situasi, yaitu BaToKer, singkatan dari Batak, Toraja, Kristen—merujuk pada dominasi etnis Batak dan Toraja yang beragama Kristen dalam pemerintahan saat itu.

Ketika Brigjen A.M. Tambunan akhirnya menjabat sebagai Gubernur (1973-1978), pergolakan politik semakin sengit. Dominasi kelompok BaToKer semakin kuat dalam jajaran pemerintahan, memicu ketidakpuasan yang lebih besar di kalangan tokoh-tokoh lokal.

Theo Tumakaka juga menyebut, pada masa itu muncul lagi istilah baru, yaitu 3-S: Sallata, Simak, dan Sarapang, yang dianggap sebagai kelompok yang “berkuasa” di kantor Gubernur, dan menghalangi putra-putra Sulawesi Tengah untuk menonjol.

Padahal, saat itu sudah ada beberapa tokoh cerdas yang seharusnya bisa berperan lebih besar, seperti Andi Cella Nurdin dari Parmusi, Zainuddin A. Rauf dari PSII, dan Ir. Maloto dari Golkar. Namun, mereka ditekan dan tidak diberi peran.

Pergolakan ini tak lepas dari pengaruh politik yang berhembus dari Jakarta. Selama lima tahun masa pemerintahan A.M. Tambunan, perlawanan dari kelompok cerdik pandai Sulawesi Tengah terus terjadi, baik dalam bentuk surat-surat penolakan resmi hingga protes terbuka.

Sayangnya, perlawanan ini seakan menemui jalan buntu. Legislatif, yang seharusnya menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi politik, justru dibatasi hanya untuk fokus pada pembangunan, tanpa mencampuri urusan politik kekuasaan. Akibatnya, para tokoh lokal tetap terpinggirkan, dan istilah “batang terendam” menjadi simbol perlawanan yang terus terpendam di bawah permukaan. (Bersambung)