Oleh: Aslamuddin Lasawedy
SAMBIL menyeruput kopi hangat di salah satu warkop di Kota Palu, teman saya, Ges Hasan, membuka percakapan, tentang ramainya konser musik jelang Pilkada Serentak 2024 di Sulawesi Tengah.
“Warga Baluase pasti tak pernah membayangkan, kampung mereka jadi tuan rumah konser band nasional,” ujar Ges, tersenyum.
Ia menyinggung sebuah konser, yang digelar oleh salah satu calon gubernur Sulteng di Desa Baluase, Kabupaten Sigi. “Gara-gara Pilkada, konser bisa di mana saja sekarang,” lanjutnya berkelakar.
Memang benar, konser musik telah menjadi salah satu alat kampanye popular, yang kerap digunakan politisi dalam kontestasi politik lokal, termasuk Pilkada 2024 ini.
Di Sulawesi Tengah, beberapa band nasional papan atas seperti Ungu, Dewa 19, hingga Slank, telah tampil dalam rangkaian acara tersebut, sebuah langkah yang mendapat apresiasi langsung dari Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura.
“Saya berterima kasih kepada para kandidat gubernur, yang telah menghibur masyarakat Sulteng,” kata Rusdy Mastura di suatu kesempatan.
Konser musik bukan sekadar hiburan, melainkan sarana ampuh untuk mengumpulkan massa dan mencuri perhatian publik. Kandidat yang berhasil mendatangkan artis popular, tentu memiliki peluang lebih besar untuk memikat hati pemilih, khususnya generasi muda.
Selain itu, acara semacam ini dapat memperkuat citra kandidat, menampilkan mereka sebagai sosok yang modern dan terhubung dengan budaya, sehingga menciptakan keterikatan emosional dengan pemilih, yang berpotensi memengaruhi pilihan mereka di bilik suara.
Tak hanya itu, konser musik juga memberikan eksposur yang luas melalui media, baik itu media massa ataupun media sosial. Foto dan video yang diunggah penonton konser, bisa menyebar luas, meningkatkan popularitas dan persepsi positif terhadap kandidat.
Namun, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Seberapa efektifkah konser musik sebagai alat politik dalam meningkatkan elektabilitas? Di beberapa tempat, strategi ini mungkin berhasil besar, tetapi di daerah lain, hasilnya bisa saja tidak begitu signifikan. Semua tergantung pada konteks lokal, karakteristik demografi, dan budaya politik masyarakat setempat.
Pada akhirnya, konser musik hanyalah salah satu dari banyak strategi kampanye. Keberhasilannya, bergantung pada bagaimana konser tersebut diintegrasikan dalam strategi kampanye yang lebih besar dan holistik.
Yang tak kalah penting, tentu saja, adalah respons dari masyarakat, yang menjadi pemilik suara dalam Pilkada Serentak 2024. (*)
Editor: Ruslan Sangadji
Tinggalkan Balasan