Oleh: Muhd Nur Sangadji

DI SINI, kita belajar tentang keikhlasan dan pengorbanan dari makhluk flora untuk sesamanya. Barangkali, begitulah analogi pengorbanan para pahlawan, yang dengan tulus berjuang demi kita dan generasi yang akan datang.

Mata kuliah Pancasila kali ini dilaksanakan di lahan pertanian. Jauh sebelum adanya program “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka”, kuliah saya sudah mengikuti model ini.

Sejak dulu saya meyakini, seluruh ruang di bumi ini adalah kelas untuk belajar, dan setiap orang adalah guru, meskipun hanya beberapa yang diformalkan dalam status. Pada dasarnya, semua manusia adalah guru.

Lahan ini tadinya kering kerontang. Beberapa hari yang lalu, hujan turun setelah kemarau panjang. Dalam dua hari, hujan deras memberikan cukup air dan kelembaban bagi tanah. Benih rerumputan yang selama ini tersembunyi di dalam tanah, mulai berkecambah.

Kenapa baru sekarang? Karena kelembaban sebelumnya tidak cukup. Meskipun tidak tumbuh, benih itu tidak mati, hanya tersembunyi—dalam istilah pertanian disebut dormansi. Dalam konteks sosial, politik, dan hukum, istilah yang mirip adalah laten.

Sama halnya dengan ideologi. Seperti benih, ideologi dapat mengalami dormansi atau menjadi laten, tersembunyi di lapisan-lapisan sosial tertentu, dan muncul ketika kondisinya memungkinkan. Kelembaban sosial, politik, dan hukum memicunya untuk berkecambah. Salah satu ideologi yang sering disebut mengalami dormansi adalah ideologi komunis.

Sejarah Indonesia memberikan bukti nyata. Tahun 1948, ideologi ini muncul, tetapi segera dibabat oleh kekuatan negara. Pada Pemilu 1955, mereka kembali tampil ke depan, bersama PNI, Masyumi, dan NU, masuk dalam empat besar.

Namun pada 1965, ideologi ini berkecambah lagi, dan kali ini rakyat bersama TNI menumpasnya atas nama Pancasila. Kemenangan ini kemudian dikisahkan sebagai “Kesaktian Pancasila”, yang menjadi asal muasal peringatan Hari Kesaktian Pancasila.

Lalu, seperti halnya benih tanaman, apa yang membuat ideologi berkecambah? Kelembaban sosial yang dinamakan ketidakadilan. Kondisi inilah yang memicu pertumbuhan ideologi baru.

Orang akan mencari ideologi alternatif, dan dalam sejarah Indonesia, ideologi komunis menjadi salah satu contohnya, yang diwujudkan melalui Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di lahan pertanian ini, kita belajar dua hal tentang Pancasila: pertama, dari perilaku petani, dan kedua, dari perilaku tanaman.

Kita melihat, bagaimana petani dengan sungguh-sungguh mengelola budidaya pertanian. Mereka menghadapi banyak tantangan, tetapi tetap berjuang tanpa banyak bantuan. Padahal tanpa mereka, kita tidak punya makanan untuk dimakan.

Para petani sering bekerja berkelompok, yang mencerminkan semangat gotong royong, salah satu nilai Pancasila. Dalam dunia tanaman, kerja sama juga terjadi.

Contohnya, tanaman budidaya dan tanaman hutan tertentu, bekerja sama dengan jamur mikoriza di akar mereka. Jamur membantu tanaman mendapatkan air dan mineral, sementara tanaman menyediakan hasil fotosintesis untuk pertumbuhan jamur. Hal yang serupa juga terjadi pada bakteri rhizobium, yang bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan, mengikat nitrogen dari udara untuk digunakan oleh tanaman.

Namun, selain kerja sama, ada juga kompetisi dalam dunia tumbuhan. Beberapa tumbuhan mengeluarkan zat tertentu (disebut alelopati) yang dapat mematikan tanaman lain di sekitarnya. Kompetisi ini juga terlihat pada suksesi lahan terbuka, seperti setelah kebakaran hutan.

Pada awalnya, tumbuhan perintis seperti rerumputan tumbuh, menciptakan iklim mikro yang memungkinkan tumbuhan tingkat tinggi berkembang. Akhirnya, dalam waktu 20 hingga 30 tahun, terbentuklah hutan belukar.

Jenis rerumputan yang semula mendominasi, akan mati karena kalah dalam persaingan mendapatkan sinar matahari, dan kematiannya, menjadi seresah yang memperkaya tanah bagi tumbuhan berikutnya.

Dengan merenungi alam, kita belajar bahwa nilai-nilai luhur yang dipraktikkan secara konsisten, akan menjadi sakti. (*)

Wallahu a’lam bis-shawab.

Dirgahayu Hari Kesaktian Pancasila, 01 Oktober 2024

Editor: Ruslan Sangadji