INI KISAH TENTANG BUSTAMIN NONGTJI – Pagi itu, langit Palu dilukisi warna abu keemasan. Hari Raya Idul Adha — hari yang biasanya dipenuhi gema takbir dan aroma kurban — kali ini membawa kabar duka. Tepat pukul 05.40 Wita, Jumat, 6 Juni 2025, seorang guru kehidupan berpulang dengan tenang.
Dr. Bustamin Nongtji, SH., MH — guru para aktivis, mentor para advokat, pendidik, dan pengukir karakter — mengakhiri pengembaraannya di dunia fana.
Ia pergi dengan senyum tipis yang konon tak pernah benar-benar hilang dari wajahnya. Seolah menyimpan rahasia kecil tentang hidup yang telah dijalani dengan jujur dan hati-hati — seperti nasihat yang kerap ia ulang kepada murid-muridnya:
“Advokat itu harus seperti peselancar. Sekali jatuh, habis sudah. Kepercayaan publik itu seperti kaca, retak tak bisa utuh kembali,” katanya berpesan kepada Fransiscus Manurung, salah seorang advokat di Palu yang pernah dimentorinya.
Bustamin Nongtji dikenal luas sebagai Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Tadulako Untad) Palu, Bidang Akademik Pendidikan dan Pengajaran (1982–1988), dan kemudian sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan (1985–1994). Tapi ia bukan sekadar administrator kampus. Ia adalah penjaga api pikiran, penyulut daya kritis, penabur benih integritas.
Di ruangan-ruangan kuliah yang sering kali panas dan pengap, suaranya tetap sejuk dan tegas. Ia tidak hanya mengajar hukum, tetapi memahat jiwa. Baginya, membentuk aktivis bukan semata soal mencetak lulusan, tapi membangun manusia yang tahan banting, lurus dalam badai, dan jujur bahkan saat gelap menawarkan jalan pintas.
“Belajar sepanjang hidup adalah keharusan,” begitu pesannya kepadaku.
Kalimat itu bukan sekadar slogan. Ia adalah cermin dari hidupnya sendiri — yang tak pernah lelah membaca, merenung, dan menyelami zaman.
DARI PINGGIR PANGGUNG
Pernah, pada Pilkada Kota Palu 2015–2020, sejumlah tokoh mendesaknya untuk ikut bertarung melalui jalur independen. Mereka percaya, kota ini butuh pemimpin sepertinya — tegas, jujur, dan tak tergoda gemerlap jabatan. Ia mempertimbangkannya, namun kemudian memilih mundur dengan tenang.
“Bukan semua orang harus masuk ke panggung itu,” katanya kepadaku kala itu, sambil menghisap rokok di beranda rumahnya di Jalan Kijang Raya, Palu.
Saat itu saya bertanya, mengapa ia batal maju. Dengan tawa khasnya, sosok yang saya panggil Om Tamin itu menjawab, ia lebih memilih menjadi cahaya dari pinggir panggung — membimbing, mengingatkan, dan mengoreksi, tanpa perlu sorotan lampu.
KEMULIAAN DI HARI TERAKHIR
Kematian adalah rahasia Allah. Namun, bagi banyak yang percaya, hari kepergian bisa menjadi isyarat dari langit seseorang itu husnul khatimah.
Om Tamin wafat pada hari Jumat, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai hari mulia — hari ketika doa-doa diijabah, dan jiwa-jiwa terpilih dikembalikan dalam tenang.
Tapi sebagaimana yang selalu ia ajarkan: jangan menyimpulkan secara berlebihan. Yang mulia bukan hanya mereka yang wafat di hari Jumat, tapi mereka yang menggunakan hidupnya untuk memberi. Dan Om Tamin adalah definisi dari memberi — ilmu, waktu, kesabaran, dan kejujuran.
Pada 6 Januari 2025, saat beliau dirawat, sejumlah tokoh datang menjenguk. Ada Longki Djanggola, M. Arus Abdul Karim, dan banyak lainnya. Mereka datang bukan karena formalitas, tetapi karena kasih, sayang dan cinta. Karena tahu, Om Tamin adalah salah satu dari sedikit tokoh yang tulus dalam bekerja, bersih dalam prinsip.
Bagi banyak aktivis di Palu, Om Tamin adalah tempat bertanya yang tak pernah menghakimi. Sosok yang hadir dengan kesederhanaan, tapi membawa bobot pemikiran yang dalam. Kehadirannya dalam setiap diskusi membuat suasana hidup — bukan karena suara tinggi, tapi karena kedalaman makna.
“Pak Bustamin itu, kalau bicara hukum, seperti bicara tentang hidup. Bukan sekadar pasal, tapi nilai,” kata Fransiscus Manurung, seorang advokat di Palu yang mengaku sebagai anak didiknya.
Kini, setelah kepergiannya, warisan itu tidak berwujud batu. Tidak pula dalam gedung atau prasasti. Tapi hidup dalam jiwa-jiwa yang ia bentuk: pada advokat yang bekerja dengan hati-hati, aktivis yang berpikir merdeka, dan masyarakat yang mulai paham bahwa hukum bukan alat kuasa, tetapi cahaya yang harus dijaga.
SELAMAT JALAN OM TAMIN
Dalam ajaran banyak agama dan filsafat, guru sejati tak pernah benar-benar mati. Mereka hanya berpindah dimensi, menyatu dalam karya dan kenangan.
Om Tamin adalah nama yang akan terus hidup—dalam bisik-bisik ruang kejujuran, dalam nota pembelaan yang tulus, dan dalam anak-anak muda yang berani berkata: “Saya akan bekerja dengan hati-hati.”
Om Tamin telah selesai berselancar, dan kini tenang di lautan abadi.
Selamat jalan Om. Selamat jalan guru.
Ombak terakhir itu telah dikau lewati dengan elegan.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. (*)
Ruslan Sangadji/Kaidah.ID


Tinggalkan Balasan