HARI INI adalah Yaumut Tasyrik, hari-hari yang disucikan setelah melaksanakan Shalat Idul Adha. Hari ini sampai tiga hari ke depan (11, 12 dan 13 Dzulhijjah), takbir masih menggema, dan aroma daging kurban masih tercium dari rumah ke rumah. Namun, lebih dari sekadar perayaan, hari ini sejatinya menjadi momen refleksi mendalam:
Apa yang telah kita sembelih selain hewan ternak?
Setiap tahun, jutaan hewan dipotong sebagai simbol pengorbanan. Namun, ego yang membusuk, kesombongan yang menggunung, dan kerakusan akan kekuasaan seringkali tetap kita pelihara dalam jiwa.
Kita rela menyembelih hewan di lapangan, di halaman masjid, di samping rumah, dan berbagi dengan birman kita, tapi kita enggan menyembelih sifat-sifat buruk yang merusak bangsa ini dari dalam.
Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah menjelma menjadi penyakit kronis. Bukan karena kita tidak tahu obatnya, tetapi karena pisau keadilan sering tumpul ketika berhadapan dengan para penguasa.
Baru-baru ini, publik kembali dikejutkan dengan kasus dugaan keterlibatan pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam praktik judi online. Sebanyak 24 tersangka ditangkap, termasuk staf khusus dan pegawai yang seharusnya memblokir konten negatif, tetapi malah diduga membekingi ribuan situs judi online.
Ex Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, yang kini menjabat Menteri Koperasi, disebut oleh para tersangka ikut terlibat dalam praktik yang sangat merusak moral bangsa ini.
Idul Adha bukan sekadar seremoni ritual, melainkan cermin tajam: Apakah kita benar-benar berani mengorbankan yang paling kita cintai — kekuasaan, kenyamanan, dan reputasi palsu — demi keadilan dan kebenaran?
Nabi Ibrahim diuji untuk menyerahkan anaknya, sebagai simbol ketaatan total kepada Tuhan. Hari ini, para pemimpin diuji untuk menyerahkan harta, gengsi, dan integritas mereka. Rakyat pun diuji untuk tidak menjual suara demi iming-iming sesaat.
Bangsa ini tidak kekurangan hewan untuk disembelih.
Yang langka adalah keberanian untuk menyembelih ego dan kerakusan, terutama di puncak kekuasaan.
Jika Idul Qurban hanya berhenti pada penyembelihan hewan, maka ia tak lebih dari sekadar festival darah.
Tetapi bila ia mampu menggugah kita untuk menguliti diri, mempertajam nurani, dan benar-benar menyembelih keangkuhan, maka bangsa ini akan mencium aroma wangi dari pengorbanan yang sejati.
Sebab Tuhan tidak menerima darah dan daging. Yang Allah terima adalah hati yang tunduk, nurani yang bersih, dan keadilan yang ditegakkan.
Mumpung masih Yaumut Tasyrik, mari, kita menyembelih apa yang terberat di dalam diri — keangkuhan yang menutupi kebenaran dan ego yang membelenggu kemajuan bangsa. Karena hanya dengan itulah, kita benar-benar mampu membangun negeri ini menjadi tempat yang layak bagi semua anak cucu kita.
Jika tidak, maka kita tak lebih sebagai binatang ternak, bahkan lebih hina lagi.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْجِنِّ وَٱلْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ كَٱلْأَنْعَٰمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْغَٰفِلُونَ
Wa laqad dżaranā lijahannama katṡīram minal-jinni wal-insi, lahum qulụbul lā yafqahụna bihā wa lahum a'yunul lā yubṣhirụna bihā wa lahum ādżānul lā yasma'ụna bihā, ulā
ika kal-an’āmi bal hum aḍhall, ulā`ika humul-gāfilụn
Artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka hina lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Surat Al-A’raf: 179).
Wallahu A’lam. (*)
Ruslan Sangadji/Kaidah.ID
Tinggalkan Balasan