Oleh: A. Mulhanan Tombolotutu – Badan Pengelola Badan Usaha MN KAHMI

TAHUN 1990 menjadi awal mula perjalanan saya ke wilayah Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Saat itu masih empat kabupaten: Donggala, Buol Tolitoli, Poso, dan Banggai.

Kawasan Morowali dan Morowali Utara kala itu belum dikenal seperti sekarang, namun sudah terbentuk dalam tujuh kecamatan: Mori Atas, Lembo, Petasia, Bungku Utara, Bungku Tengah, Bungku Selatan, dan Menui Kepulauan.

Saya diberi amanah oleh almarhum Isman Ayub, Direktur PT Tamaco Graha Krida, untuk memegang kuasa dalam pengelolaan tata usaha kayu hasil land clearing pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat Transmigrasi).

Izin usaha perkebunan tersebut diberikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah saat itu, Galib Lasahido, atas areal seluas kurang lebih 10.000 hektare di Bungku Tengah.

Sebagian saham perusahaan telah diakuisisi oleh tokoh-tokoh nasional seperti Syarif C.H. Surtardjo dan Antoni Salim. Sebuah investasi besar untuk masa itu, namun bagi masyarakat setempat, kehidupan masih sangat jauh dari kata layak. Pendapatan masyarakat berada pada level yang amat rendah, dan akses pembangunan masih sangat terbatas.

Kami tinggal di penginapan Ernida di Desa Emea, dekat dengan basecamp PT TGK di Desa Ungkaya. Kontraktor land clearing dipercayakan kepada almarhum Frans Samperante, sementara proses pembibitan sawit dikelola oleh tim muda, termasuk saudara Nur Sangadji dan rekan-rekannya.

Saya menyaksikan langsung dinamika awal pembangunan kawasan itu, di tengah masyarakat yang hidup dari hasil hutan, bertani, dan sebagian besar belum tersentuh fasilitas dasar.

Waktu itu, industri yang ada di wilayah Bungku Selatan hanya terbatas perusahaan HPH dari Djajanti Group, dan satu-dua usaha rotan milik warga Tionghoa.

Tambang kromium milik PT Palmabim Bituminusa di Desa Wosu juga baru mulai. Di Kecamatan Lembo dan Petasia, terdapat pula perusahaan perkebunan karet dengan pola PIR-Trans, namun belum memberikan dampak ekonomi yang berarti.

Saya meninggalkan wilayah itu sekitar tahun 1995/1996. Saat itu, geliat pembangunan baru mulai terasa, namun belum signifikan. Baru beberapa tahun kemudian, masuknya investasi besar di sektor pertambangan mineral membawa perubahan besar.

Perubahan ini bukan hanya pada infrastruktur dan geliat ekonomi, tetapi juga pada pola pikir, mobilitas sosial, dan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.

TAMBANG ANTARA MANFAAT DAN PRASANGKA

Dari pengalaman tersebut, saya melihat, pengelolaan sumber daya alam, khususnya tambang, jika dilakukan dengan benar dan berkeadilan, dapat membawa kemaslahatan nyata bagi masyarakat sekitar. Pertumbuhan ekonomi yang pesat, akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan permodalan usaha lokal, semua menjadi mungkin karena adanya investasi dan pengelolaan industri secara sistemik.

Klik halaman selanjutnya >