Lantas, ketika hari ini muncul wacana untuk membatasi, atau bahkan menghentikan investasi di sektor pertambangan atas dasar berbagai kepentingan—baik politik, ideologis, atau bahkan sentimen sektoral, maka kita perlu kembali bertanya: apakah kita bersedia kembali pada kondisi tahun 1990-an, saat wilayah-wilayah terpencil di negeri ini hidup dalam gelapnya keterisolasian dan kemiskinan?

Pertanyaan ini bukan untuk menjustifikasi eksploitasi tanpa kendali. Justru sebaliknya, ini adalah seruan untuk memperbaiki tata kelola, menegakkan regulasi, dan menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Bukan menghambat kemajuan, tetapi memastikan agar kemajuan itu adil dan berwawasan jangka panjang.

TOTAL INVESTASI DAN PERTUMBUHAN UMKM DI IMIP

Mengutip kaidah.ID, Direktur Komunikasi PT IMIP, Emilia Bassar menyebut, hingga 2024, total investasi yang masuk ke Kawasan industry IMIP mencapai 34,3 miliar Dolar Amerika atau sekitar Rp562,52 triliun.

Tak hanya itu, IMIP juga berkontribusi besar pada devisa ekspor nasional, mencapai 15,4 miliar Dolar Amerika atau Rp252,56 triliun.

Dari sisi tenaga kerja, kawasan ini menyerap lebih dari 85.000 pekerja Indonesia, mayoritas berasal dari Sulawesi. Ini menjadikan IMIP sebagai salah satu kawasan industri, dengan daya serap tenaga kerja terbesar di Indonesia.

Beberapa tenant bahkan telah memasang panel surya di atap pabrik dengan total daya sekitar 130 megawatt, dan ada yang merencanakan membangun hingga 200 megawatt lagi.

Tak hanya soal energi bersih, IMIP juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Di sekitar kawasan, tercatat ada 7.643 UMKM pada 2025, naik dari 4.697 pada tahun 2021. Jenis usahanya beragam, dari kios makanan, bengkel, konter pulsa, hingga penyedia APD dan peralatan industri.

Belum lagi mengenai perkembangan UMKM. Mengutip Head of Media Relations Department PT IMIP, Dedy Kurniawan yang dirilis kaidah.ID, jumlah unit UMKM di Kecamatan Bahodopi meningkat pesat dari 4.697 unit pada 2021 menjadi 7.643 unit pada Maret 2025 atau naik 62,7 persen dalam lima tahun.

UMKM tersebut telah menyerap sedikitnya 16.705 tenaga kerja. Tiga jenis usaha yang paling dominan adalah kios sembako dan Pertamini (981 unit), stan minuman (735 unit), dan warung makan semi permanen (670 unit).

Pertumbuhan UMKM di Bahodopi paling signifikan terjadi pada 2024, dengan kenaikan hingga 14,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Berangkat dari semua itu, saya berpendapat, pembangunan tidak boleh melupakan sejarahnya. Ia harus berpijak pada pengalaman masa lalu, melihat perubahan dari waktu ke waktu, lalu mengambil hikmah dari setiap proses.

Saya percaya, pembangunan yang baik bukan hanya soal infrastruktur dan angka pertumbuhan, tapi soal keadilan, keseimbangan, dan keberdayaan masyarakat.

Wilayah Bungku, yang dahulu hanya hamparan hutan dan desa-desa terpencil, kini menjadi bagian dari denyut nadi ekonomi Sulawesi Tengah. Mari kita jaga agar kemajuan ini tidak kehilangan arah. Bukan untuk kembali ke masa lalu, tapi agar masa depan tidak kehilangan akarnya. (*)

Editor: Ruslan Sangadji